Senin 15 Aug 2016 04:51 WIB

Gambar Gajah dan Haji Berzikir di 'Prigi Ajaib' Laweyan Tahun 1914

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Foto:
Abdi dalem Kraton Solo di sekitar area Alun-Alun Utara Solo

Mendiang sejarawan Kuntowijoyo menyatakan bila dikaji munculnya kehebohan gambar gajah, harimau, haji berzikir, dan bulan bintang di sebuah sumur milik seorang janda di kampung Laweyan itu sebenarnya merupakan ekspresi dari munculnya ‘budaya tanding’.

Menurut Kunto, jarak geografis antara keraton dan Laweyan memang hanya beberapa kilo meter, tetapi jarak sosialnya sangat jauh.Di sebelah sana ada raja dan priyayi, di sebelah sini adalah kawula.

‘’...bahwa makin jauh dari pusat simbol-simbol budaya makin lemah. Demikianlah maka bisa dimengerti bahwa di tengah kawula timbul budaya tandingan itu adalah berada di alam bawah sadar, kolektif, mentalitas mereka,’’ tulis Kunto dalam buku ‘Raja, Priyayi, dan Kawula’.

Budaya tandingan dalam konteks Surakarta 1900-1915 juga berupa perlawanan terhadap simbol-simbol tradisional. Mitos mengenai dunia gaib seperti Nyai Roro Kidul (penguasa Laut Selatan), Kiai Sapujagad (penunggu gunung Merapi) misalnya selama ini selalu berpihak kepada raja atau kaum priyayi saja. Akibatna, simbol modernitas raja (dan masyarakat kota) yang ada di dalam sumur itu ditandingi oleh mitos tentang dhemit yang sanggup menghadirkan pertunjukan gambar hidup di dalam sumur.

Alam bawah sadar kolektif itulah, lanjut Kunto, juga yang melatar belakangi munculnya gerakan Sarekat Islam (SI). Untuk Laweyan,  SI pada mulanya adalah gerakan wong cilik, gerakan kawula, lebih dari pada gerakan santri. Seperti diketahui Laweyan pada awal abad 20 tidaklah sangat santri bila dibandingkan kampung Kauman.

Santri sebagai jati diri di kemudian hari baur terbentuk, di antaranya untuk membedakan diri dengan priyayi dan abangan. Seperti diketahui, abanganan oun sebenarkan tekah  diklaim oleh Abipraya,  Boedi Oetomo, dan abangan juga di persangkakan kepada SI Semarang. Maka tak ada jalin lain, satu-satunya pilihan bagi SI Laweya adalah menjadikan profil dirinya sebagai kaum santri.

Mengapa budaya tandingan dan SI tumbuh di Laweyan bukan Kauman? Kunto menjawab: “Laweyan adalah tempat kawula, dan kauman priyayi abdi dalem raja pasti lebih dominan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement