REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anom Prihantoro*)
Hingga Sabtu (3/9), sebanyak 60 anggota jamaah Indonesia meninggal pada musim haji 1437 Hijriah dengan berbagai sebab, terutama faktor gangguan kesehatan. Namun, kenyataan risiko kematian dalam berhaji, tidak pernah menyurutkan minat masyarakat untuk tetap menunaikan rukun Islam kelima.
Salah satu tolok ukurnya, daftar antrean haji Indonesia terus bertambah sepanjang tahun. Kondisi ini juga menyebabkan waktu tunggu berangkat relatif lama. Direktur Penyelenggaraan Haji Dalam Negeri Kementerian Agama Ahda Barori mengatakan, bahwa saat ini, daftar tunggu calon haji Indonesia telah mencapai lebih dari tiga juta orang.
Daftar tunggu paling lama di Indonesia, kata dia, ada di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, yaitu 39 tahun. Artinya, jika seorang calhaj mendaftar berangkat haji di Kementerian Agama pada usia 31 tahun, maka yang bersangkutan akan berangkat ke Tanah Suci pada usia 70 tahun.
Usia 70 secara kesehatan, bukanlah fase kehidupan yang ideal bagi seorang yang akan mengarungi ritual haji yang terbilang berat. Bagi seorang manusia 'kepala tujuh' pada umumnya, mengalami penurunan stamina drastis, gangguan penyakit, dan faktor kesehatan lainnya. Beratnya prosesi haji itu seperti saat proses berangkat dari Tanah Air dan ketika melakukan ritual haji di Tanah Suci. Singkat kata, prosesi haji yang panjang tidak akan mudah dilalui oleh seorang yang sudah dalam usia senja.
Ahda mengatakan, bahwa saat ini, tidak ada percepatan antrian ibadah haji, kecuali beberapa syarat, di antaranya calhaj yang sudah berusia minimal 75 tahun akan masuk 2 tahun daftar tunggu atau suami yang sudah masuk daftar berangkat calhaj, maka istrinya tidak perlu menunggu lagi.
Sementara itu, 60 anggota jamaah haji yang meninggal pada musim haji 2016, didominasi usia 55 tahun ke atas. Maka, tidak mengherankan dalam pemberangkatan jamaah haji Indonesia, sering ditemui fragmen-fragmen isak tangis calhaj dan keluarganya saat melakukan perpisahan jelang terbang ke Tanah Suci.
Secara matematika, jumlah korban insiden ritual haji tidak pernah fantastis dalam artian hanya sebagian kecil dari jumlah total anggota jamaah haji yang berangkat. Meski begitu, proses ritual haji harus dilakukan secara saksama agar tidak ada korban, entah itu karena sakit, insiden kecil, atau sampai pada korban jiwa.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Abdul Djamil mengatakan, bahwa pihaknya memahami terdapat keinginan sebagian di antara jemaah lanjut usia yang justru ingin meninggal di Tanah Suci. Menurut dia, jamaah lansia memang sudah mengetahui risiko berhaji pada usia senja. Akan tetapi, mereka siap menebus dengan segala kemampuan, baik itu harta benda maupun jiwa.
Meski begitu, Djamil mengatakan, bahwa pihaknya tetap mengupayakan pelayanan terbaik untuk jemaah calhaj Indonesia. Idealnya, segala pelayanan haji oleh pemerintah harus memuaskan jamaah dan dari unsur kesehatan sebisa mungkin 'zero accident' atau nol insiden.
Kurangi Kelelahan
Di beberapa kasus, terdapat calhaj yang meninggal tidak lama setibanya di Tanah Suci. Umumnya, karena mereka mengalami kelelahan sampai sakit. Kelelahan yang diderita sejumlah calhaj salah satunya karena panjangnya proses tunggu yang harus dijalani mereka menjelang berangkat ke Tanah Suci.
Sebagian di antara jamaah berasal dari kampung, kemudian menuju kabupaten untuk dilakukan acara seremonial pelepasan ke asrama haji. Perjalanan dilanjutkan menuju asrama haji dan harus tinggal di asrama selama sehari sebelum terbang.
Saat di bandara, calhaj masih harus menunggu 4 hingga 5 jam sebelum lepas landas menuju Saudi. Secara keseluruhan proses tersebut membuat fisik jemaah mengalami kelelahan dan rentan terhadap serangan berbagai penyakit karena tidak bugar.
Kelelahan di Tanah Air itu, belum seberapa jika ditambah kegiatan di Tanah Suci. Sesampainya di Saudi, jamaah akan melakukan perjalanan menuju penginapan yang memakan waktu berjam-jam. Sesudah itu, mereka akan melakukan penyesuaian cuaca (aklimatisasi) dilanjutkan melakukan berbagai ritual haji.
Anggota Komisi IX DPR RI Ahmad Zainuddin mendorong pemerintah agar mengefisienkan waktu tunggu jamaah haji sejak pemberangkatan dari Tanah Air menuju Tanah Suci, sehingga tidak kelelahan dalam melakukan prosesi ibadah haji.
Selain itu, Zainuddin menyayangkan, jumlah tenaga kesehatan yang kurang, seperti di embarkasi Makassar. Di embarkasi tersebut ditemui ketidakseimbangan jumlah calhaj yang membutuhkan layanan kesehatan dengan tenaga medis.
Terdapat satu dokter dan dua perawat yang bersiaga di klinik kecil embarkasi Makassar. Mereka harus melayani 27 kloter dari delapan provinsi yang dipusatkan di embarkasi Makassar. Setiap kloter 450 calhaj.
Untuk itu, dia meminta pemerintah harus terus melakukan evaluasi dalam memberi pelayanan kesehatan serta sistem persiapan keberangkatan agar calhaj tidak kelelahan sebelum tiba di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Menurut dia, terdapat proses yang harus dipangkas. Misalnya, apakah dengan menambah jumlah embarkasi karena satu embarkasi untuk delapan provinsi terlalu banyak. Banyaknya jumlah calhaj sehingga waktu tunggu keberangkatan jadi panjang. Pelayanan kesehatan juga harus maksimal, jangan standar minimal.
Fokus Haji
Kelelahan jamaah calhaj disebut banyak pihak wajar terjadi dengan berbagai prosesi yang panjang. Hal tersebut belum termasuk peristiwa ketika jamaah fokus beribadah tanpa memedulikan kebugarannya saat di Tanah Suci. Terdapat jamaah yang melakukan 'totalitas' beribadah di Tanah Suci dengan segala sunahnya dan/atau mereka yang fokus belanja untuk oleh-oleh sehingga manasik hajinya terabaikan.
Terkait dengan hal itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan pesan kepada jemaah Indonesia agar ibadah hajinya menjadi efektif sesuai dengan tujuan utamanya menjadi haji mabrur. Pertama, agar jemaah selalu menjaga kesehatannya.
Kesehatan adalah modal penting untuk menunaikan setiap prosesi ibadah haji di Arab Saudi yang cuacanya lebih panas dibandingkan Indonesia pada masa ini. Jamaah juga, mesti cerdas dalam membawa diri dengan menjalankan pola hidup sehat, mengonsumsi makanan bergizi, meminum air dalam jumlah cukup dan melakukan aktivitas seperlunya. Sehingga, dia tidak menguras tenaga dan bisa menjalankan setiap prosesi ibadah haji dengan baik.
Kedua, jamaah agar benar-benar mempelajari manasik haji dan memprioritaskan pelaksanaan rukun dan wajib haji karena dia melihat kecenderungan jamaah sering kali memaksakan melakukan kegiatan yang bukan rukun dan wajib haji.
Jamaah, kata dia, agar tidak terlalu banyak terkuras staminanya untuk ibadah sunah sampai pada wukuf di Arafah. Wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun haji sehingga jangan sampai jemaah tidak melaksanakan prosesi ini. Jika tidak melakukan salah satu dari rukun haji, seorang calhaj tidak akan masuk kategori haji sesuai dengan tuntutan syariat.
Wartawan Antara*)