Kamis 08 Sep 2016 09:55 WIB

Sultan Turki, Politik Haji, dan Makkah Menjelang Wukuf

Jamaah tidak boleh masuk karena ruang di dalam Masjidil Haram, Makkah, sudah penuh jelang shalat Jumat pada 12 Agustus 2016.
Foto:
Sebagian rombongan jamaah haji asal Rusia yang naik mobil karavan ke Makkah.

Keriuhan Makkah hingga dilaksanakannya ibadah di Armina (Arafah, Mudzlfah, dan Mina) mau tidak mau mendapat perhatian yang sangat serius para pemegang kekuasaan Arab Saudi. Dan harap dipahami, Pemerintah Arab Saudi pun sudah menetapkan bahwa merekalah yang memimpin layanan jamaah selama di Armina.

Dan untuk layanan ini pun, para jamaah sebenarnya membayarnya, alias tidak gratis, yang itu dimasukkan dalam biaya ongkos naik haji yang kemudian dibayarkan ke pihak Muassasah. Uang ini digunakan untuk melayani para jamaah selama tinggal di ketiga wilayah itu, mulai dari penyediaan air bersih, tenda, makanan dan minuman, dan aneka jasa lainnya. Besarnya uang jasa layanan di Makkah itu harganya sekitar 270 rial per jamaah, dan angkanya dari tahun ke tahun terus naik. Patut diketahui pula, dalam setiap musim haji (termasuk juga umrah), Pemerintah Kerajaan Arab Saudi diperkirakan mendapat devisa sekitar Rp 800 hingga Rp 900 triliun. Ini jelas bukan jumlah dana yang sedikit.

Bila ditelusuri lagi, soal pengaturan jamaah haji seperi itu sebenarnya sudah berlangsung semenjak era Kesultanan Otoman Turki. Penguasa saat itu pun ikut campur tangan dalam soal pelayanan terhadap jamaah haji.

Tak hanya soal makan dan minum, para penguasa Otoman juga mengawasi pelayanan para jamaah haji, mulai dari soal yang sepele seperti penyedian alat transportasi (unta), ketersediaan makanan dan air bersih, pengaturan rute perjalanan para peziarah, pengaturan rombongan, pengaturan penginapan atau tempat singgah para karavan haji, layanan kesehatan jamaah, hingga soal pengamanan perjanalan haji agar tidak terkena perampokan di perjalanan. Para petugas Kesultanan Turki ditempatkan di sepanjang rute perjalanan haji. Tujuannya, selain memantau, mereka juga mengawasi aktivitas dan perjalanan para peziarah tersebut.

Maka, di sini menjadi terbukti, bahwa soal haji itu bukan hanya soal urusan ibadah saja, tapi semenjak dahulu kala sudah menjadi soal-soal politik kekuasaan. Malahan, khusus untuk Indonesia masa kini, urusan soal perjalanan haji sebenarnya dibahas sepanjang tahun, atau bukan hanya muncul di masa menjelang dan setelah bulan haji belaka. Di Komisi VIII DPR soal haji diperdebatkan secara terus menerus antara pemerintah dan para wakil rakyat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement