Jumat 09 Sep 2016 11:47 WIB

Dada Bergemuruh Menungu Wukuf di Arafah

 Seorang petugas menyiapkan tenda di Arafah.
Foto:
Jamaah haji memeriksa peta menjelang keberangkatan menuju Arafah, untuk menunaikan ibadah wukuf di padang Arafah, Makkah,Rabu (24/10) dini hari. (Hassan Ammar/AP)

Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Perancis atas bangsa-

bangsa Islam.

Para haji hidup beberapa bulan dalam suasana antikolonial, yang sangat berbekas. Pemberontakan petani Banten 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Makkah.

Dengan demikian, perjalanan haji mulai berfungsi sebagai pemersatu Nusantara dan perangsang antikolonialisme. Dan masyarakat 'Jawah mukim' punya peranan penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian dunia Islam lainnya. Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau, yang mengajar di Makkah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di Tanah Air.

Banyak 'Jawah mukim' yang juga pernah belajar di madrasah modern Shaulatiyah, yang didirikan di Makkah pada tahun 1874 oleh orang India (dahulu letak madrasah ini tak jauh dari Hotel Darut Tahwid, dan kini sudah pindah ke pinggiran Makkah, red).

Melalui madrasah ini, mereka juga tahu lebih jauh tentang perjuangan orang India melawan penjajahan Inggris. Keilmuan agama dan kesadaran nasional berkembang dalam hubungan erat satu dengan yang lain. Pada tahun 1934, karena suatu konflik yang menyangkut kebanggaan nasional orang Indonesia, guru dan murid 'Jawah' telah keluar dari Shaulatiyah dan mendirikan Madrasah Darul Ulum di Makkah.

Selama dasawarsa terakhir masa kolonial, madrasah ini merupakan pusat intelektual bagi orang Indonesia dari kalangan pesantren di Makkah. Bagi kaum modernis, pada masa itu, Mesir telah menjadi pusat pergerakan; tetapi untuk ke Mesir pun, Makkah tetap menjadi batu loncat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement