Terkait situasi Makkah sepanjang musim haji ada catatan menarik dari peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen.
Menurut Martin, setiap tahun, rombongan haji dari Nusantara sudah mulai datang ke Makkah beberapa waktu sebelum bulan Ramadhan, karena mereka ingin melakukan ibadah puasa di kota suci itu dan sembahyang taraweh di Masjid al-Haram atau di Zawiyah seorang syekh tarekat yang termasyhur.
Rata-rata mereka tinggal selama empat sampai lima bulan di Hijaz sebelum pulang. Hampir semuanya juga mengunjungi kota Madinah setelah melaksanakan ibadah haji; ziarah ke makam Nabi di sana sudah
lazim bagi jamaah haji Nusantara. Selain itu, mereka mengikuti pengajian-pengajian
yang diberikan di mana saja di kota Makkah dan Madinah.
Di antara jamaah haji ini, tidak banyak yang bisa berbahasa Arab, tetapi itu tak menjadi masalah. Di mana-mana ada ulama berasal dari Nusantara, yang memberi pengajian dalam bahasa Melayu. Para syekh tarekat pun mempunyai wakil-wakil 'Jawah' khusus untuk melayani jamaah haji Nusantara yang ingin memperdalam penghayatan tarekat.
Di Makkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara. Bayangkan, di Makkah orang dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Aceh selama lima bulan bebas bergaul, tukar pengalaman dan pikiran.