Kamis 15 Sep 2016 09:13 WIB

Pas Haji, Paspor, dan Visa ke Tanah Suci

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Paspor Haji
Paspor Haji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak zaman Belanda jamaah haji dari kepulauan Nusantara menggunakan pas khusus yang dikeluarkan setiap regent atau wedana. Ini dikenal dengan nama ‘Pas Haji’ yang hanya berlaku sekali perjalanan. Pada awal abad ke-19, calon jamaah haji harus membayar Pas Haji cukup mahal, yaitu sebesar 100 gulden (f100), setara dengan 50 dolar AS. Jika diabaikan, maka akan dikenai denda 10 kali lipat, setara 500 dolar AS.

Karena tidak ada jamaah yang sanggup membayar denda Pas Haji’, denda itu lalu sempat diturunkan menjadi 220 gulden atau sekitar 100 dolar AS. Kondisi tersebut membuat banyak jamaah haji dari kepulauan Nusantara berangkat melalui Singapura, Semenanjung Malaya dan bahkan India, dengan menggunakanpaspor umum. Paspor ini ternyata lebih murah, persyaratannya pun tak berbelit karena tidak ada unsur politis.

Ada sebuah contoh Pas Haji yang dikeluarkan pada 1928 oleh Regent atau Residen-jabatan di bawah bupati dan di atas Camat saat ini-, Bangil, Jawa Timur. Di dalamnya tertera nama sang pejabat’ Harsono. nama kapal hajinya Alcinous, tujuan Nederland dengan melalui Makkah. Sebutan Pas Haji adalah Reispas Naar Mekka, yang kemudian tertulis di bawahnya dalam aksara Arab-Melayu; Surat Pas ke Makkah.

Dalam Pas Haji tersebut tentu belum ada visa. Hanya terdapat stempel imigrasi Jeddah yang mnyebutkan kedatangan dan nama kapal (on arrival). Tercantum dalam Pas Haji itu beberapa peringatan bagi para penumpang dengan tulisan Arab-Melayu.

Pas Haji pada 1928 itu menjelaskan masa perjalanan selama waktu enam bulan. Berangkat 30 November 1928 dan kembali pada 27 Mei 1929. Di halaman luar Pas Haji diberitahu bahwa jamaah haji selama di Tanah Suci mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.

Saat Indonesia merdeka, Pas Haji dikeluarkan oleh Bupati setempat yang berwarna hijau. Lalu pada 1968 berubah menjadi Pas Perjalanan Haji (PPH), berwarna coklat berisi 40 halaman, besarnya sam dengan paspor umum saat ini. Dalam Pas Haji itu terdapat 20 lembar yang harus disobek oleh pejabat di Arab Saudi. Di situ ditunjukkan juga kapal serta jatah barang bawaan yang disediakan selama pelayaran.

Dalam PPH jamaah haji Banyuwangi pada 1973, misalnya, yang menandatangani paspor tersebut adalah Bupati Djoko Supaat Slamet. Kapal laut pada 1973 menunjukkan perjalanan haji memakan waktu hampir tiga bulan. Kapal Tjut Nyak Dien berangkat 9 Desember 1973 dan tiba di tanah air pada 15 Maret 1974.

Stempel pemberangkatan dan kepulangan di Pas Haji tidak dilakukan imigrasi, tapi syahbandar pelabuhan setempat. Pelayaran ditempuh 15 hari karena tiba di Jeddah pada 24 Desember 1973. PPH yang kemudian berubah menjadi Paspor Haji, menarik perhatian dunia Islam. Sehingga ada 26 negara yang mengikutinya. Sebab dengan model paspor semacam itu, memudahkan petugas imigrasi pihak Arab Saudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement