REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Hafshin Arar bin Salam al-Haddad adalah seorang pandai besi di kota Nishapur. Dia berkunjung ke Bagdad dan berjumpa degan Al-Junaid yang kagum menyaksikan pengabdiannya kepada Allah. Abu Hafshin juga pernah berjumpa dengan Asy-Syibli dan tokoh-tokoh sufi lainnya di Bagdad.
Sejak saat itulah, dia telah menetapkan dirinya dalam jalur tasawuf. Dia mempelajari ilmu-ilmu agama dan melatih dalam kesehariannya dengan mujahadah dan riyadhah.
Pada suatu ketika, Abu Hafshin bertekad menunaikan haji, tetapi dia belum dapat membaca atau berbahasa arab. Ketika sampai di kota Bagdad, murid-murid sufi saling berbisik, "Sangat memalukan apabila syekh dari segala syekh di Khurasan masih memerlukan juru bahasa untuk memahami bahasanya sendiri."
Al-Junaid menyuruh murid-muridnya untuk menyambut kedatangan Abu Hafshin. Abu Hafshin sendiri menyadari apa yang sedang dipikitkan oleh mereka. Dia pun bertawajuh kepada Allah, memohon karubia-Nya. Sejenak kemuia, dia segera bisa berbicara bahasa Arab yang sangat fasih, sehingga orang-orang Bagdad kagum akan kemurnian bahasa Arab-nya.
Suatu ketika, beberapa ulama berkumpul di sekelilingnya dan bertanya tentang cinta yang menyebabkan seseorang rela mengorbankan diri. "Engkau lebih pintar berbicara. Jawablah pertanyaan mereka itu," Abu Hafshin berkata kepada Al-Junaid.
"Menurut pendapatku," Al-Junaid memulai, "apabila kita benar-benar mengorbankan diri sendiri, kita tidak beranggapan bahwa kita telah mengorbankan diri dan membanggakan segala perbuatan yang telah kita lakukan."
"Tepat sekali," kata Abu Hafshin, "tapi menurut pendapatku, mengorbankan diri sendiri berarti berlaku adil kepada orang lain dan tidak berharap agar orang lain berlaku adil kepada diri kita sendiri."
"Laksanakan nasihat ini wahai sahabat-sahabatku," kata Al-Junaid kepada ahli masjid tersebut.
"Pelaksanaan yang benar, lebih sulit daripada sekedar kata-kata," tandas Abu Hafshin.