Selasa 13 Dec 2016 17:42 WIB

Kejayaan Kapal Haji yang Memudar

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Calon jamaah haji bersiap naik kapal laut di Tanjung Priok, menuju Tanah Suci pada tahun 1938.
Foto: Gahetna.nl
Calon jamaah haji bersiap naik kapal laut di Tanjung Priok, menuju Tanah Suci pada tahun 1938.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Kapal khusus pengangkut jamaah haji pada periode permulaan haji, tulis Dien, hanya tersedia di pelabuhan Singapura dan Penang. Karena itu, banyak calon jamaah haji pada masa itu lebih senang ke Singapura atau Penang sebagai tempat embarkasi meski biaya perjalanan yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dengan waktu yang lama.

Masalah dana yang minim tidak menjadi alasan bagi mereka untuk membatalkan niatnya. Jika perlu, mereka akan berutang. Yang menarik, tulis Dien, ada yang bersedia menjadi pekerja perkebunan di Singapura atau Penang selama beberapa tahun, baik sebelum maupun sesudah pulang melaksanakan ibadah haji.

Selama menjadi buruh di perkebunan itu, mereka bekerja keras mengumpulkan uang untuk biaya melanjutkan perjalanan ke Makkah atau kembali ke kampung halaman. Itulah sebabnya mengapa perjalanan haji pada masa itu memakan waktu lama, tiga hingga empat tahun. Sedangkan, pelayaran yang normal antara pelabuhan Jeddah dan nusantara dapat ditempuh berkisar lima sampai enam bulan. Hal ini pun sangat tergantung pada faktor alam.

Namun, semua kondisi tersebut, tulis Dien, tidak menjadi penghalang mereka untuk menunaikan ibadah haji. Apalagi setelah terusan Suez dibuka pada 1869 dan ditemukannya teknologi pembuatan kapal uap membuat perjalanan atau jarak tempuh menuju Tanah Suci menjadi lebih cepat. Akibatnya, dapat mengurangi biaya perjalanan pulang-pergi.

Pada tahun 1825, masyarakat Indonesia yang bermaksud melaksanakan ibadah haji untuk pertama kalinya menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji yang disiapkan oleh Syekh Umar Bugis. Sejak saat itu, pengangkutan jamaah haji nusantara dilaksanakan dengan menggunakan kapal haji milik seorang syekh.

Setelah mengetahui jumlah jamaah haji nusantara semakin meningkat pada paruh kedua abad ke-19, Inggris mulai memasuki bisnis pengangkutan haji nusantara. Pada pertengahan tahun 1858, sebuah kapal Inggris muncul di Batavia untuk mengangkut jamaah haji nusantara. Jika selama ini jamaah haji nusantara menggunakan kapal layar (zeilschip), mulai tahun itu mereka menggunakan kapal uap (stoomschip).

Dalam perkembangan berikutnya, orang Arab di Batavia ikut juga memanfaatkan peluang bisnis pengangkutan jamaah haji nusantara ini. Kapal mereka mengangkut penumpang dari Batavia via Padang langsung ke Jeddah dengan kapasitas 400 jamaah. Pengangkutan ini dilakukan dua kali setahun dengan harga tiket dari Batavia 60 dolar, sedangkan dari Padang 50 dolar atau 105 Gulden lebih murah dibandingkan kapal layar.

Langkah orang-orang Arab di Batavia ini kemudian diikuti oleh Pemerintah Belanda setelah pembukaan Konsulat Belanda di Jeddah pada 1872 dan peresmian penggunaan terusan Suez dua tahun sebelumnya. Pada 1873, Pemerintah Belanda memberikan kontrak kepada tiga perusahaan pelayaran, yaitu Nederland, Rotterdamsche Llyod, dan Ocean yang di nusantara dikenal dengan sebutan Kongsi Tiga, untuk mengangkut jamaah haji nusantara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement