REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak permulaan haji hingga akhir abad ke-19 M, mereka yang berangkat ke Makkah belum memiliki pelabuhan embarkasi tertentu. Pada abad ke-16 dan 17, sebagaimana ditulis Dr M Shaleh Putuhena dalam bukunya Historiografi Haji Indonesia, para pengunjung Haramain itu berangkat dari satu pelabuhan perdagangan di nusantara menuju Pasai dan Malaka.
Akan tetapi, karena Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada 1511, Pasai merupakan satu-satunya pintu gerbang menuju Makkah. Mungkin, karena itulah, Aceh dijuluki sebagai Serambi Makkah.
Memasuki abad ke-18, Pasai tidak lagi berperan sebagai pelabuhan embarkasi haji, bersamaan dengan kemunduran perdagangan Aceh. Sebagai gantinya, jamaah haji bertolak dari Batavia atau pelabuhan lainnya di Tanah Semenanjung. Pada abad ke-19, perjalanan haji dimulai dari Batavia, Padang, Singapura, dan Penang.
Sampai dengan tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda belum menetapkan pelabuhan tertentu sebagai embarkasi jamaah haji. Melalui Staatsblad 1872, No 179, yang mengatur pengangkutan pribumi keluar dari Hindia Belanda, ditetapkan bahwa embarkasi hanya dilakukan pada pelabuhan-pelabuhan Batavia, Surabaya, Semarang, Makassar, dan Padang serta (sejak 1880) Ulee Lheue.
Meskipun pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak dinyatakan sebagai pelabuhan haji, maksud peraturan itu sesungguhnya untuk menetapkan pelabuhan haji di nusantara. Penetapan pelabuhan haji itu secara jelas dituangkan dalam peraturan khusus tentang haji. Dalam perkembangan berikutnya, pelabuhan haji itu dibatasi dengan Batavia dan Padang yang diatur dalam ordonansi haji atau Staatsbald 1898, No 294.