Rabu 28 Dec 2016 14:02 WIB

Misi Pergi ke Tanah Suci

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Kabah
Foto: Reuters/Fahad Shadeed
Kabah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Pada masa kolonialisme Belanda, umat Islam yang menunaikan ibadah haji tak hanya dilandasi oleh semangat keberagamaan, melainkan motivasi membebaskan nusantara dari penjajahan. Karena itu, banyak umat Islam yang pergi ke wilayah Jazirah Arabia, Makkah dan Madinah khususnya, untuk menyambung silaturahim dengan sesama umat Islam demi memperkuat persatuan dan kesatuan.

Apalagi, dengan semakin kuatnya cengkeraman penjajahan, misi pergi ke Tanah Suci juga dilandasi dengan semangat patriotisme untuk membebaskan diri dari penjajah. Bahkan, pada awal abad ke-18 dan 19, ibadah haji yang

sebelumnya dilakukan sambil berdagang dan menuntut ilmu mulai dilaksanakan dengan menjalin kemitraan bersama Pemerintah Arab Saudi. Bahkan, secara tegas, mereka mendeklarasikan diri menunaikan ibadah haji kendati dengan fasilitas yang sangat terbatas.

Momentum ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyediakan alat transportasi sebagai lahan hasil perekonomian baru di bumi nusantara. Sebab, ibadah haji merupakan kegiatan tahunan yang tetap berlangsung sampai kapan pun. Hal ini sekaligus semakin memberikan harapan bagi Hindia Belanda untuk tetap memfasilitasi transportasi pemberangkatan dengan motivasi pengembangan ekonomi.

Di sisi lain, semakin terbukanya akses umat Islam nusantara untuk menunaikan ibadah haji pada kurun abad ke-18 hingga 19 M, ungkap Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, menunjukkan sikap ambigu penguasa Hindia Belanda. Penyebabnya adalah asumsi yang mengatakan bahwa orang yang baru pulang haji akan menjadi kelompok tandingan atau agent of social change dalam masyarakatnya.

Karena alasan tersebut, pada abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mulai berupaya menghalangi dan mempersulit umat Islam nusantara untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, seorang orientalis Belanda Snouck Hurgronje memberikan pandangan yang berbeda bahwa tidak sepatutnya mencurigai umat Islam yang menunaikan ibadah haji. Sebab, mereka terdiri atas kalangan masyarakat awam yang berasal dari kelompok petani yang sukses.

Menurut Hurgronje, yang perlu diperhatikan justru kalangan umat Islam yang terlibat dalam politik dan berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji. Sebab, kelompok ini berpotensi besar untuk mengubah masyarakat melalui pengetahuan dan kekuasaannya. Berdasarkan pandangan Hurgronje tersebut, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengeluarkan kebijakan yang membatasi pelaksanaan ibadah haji kepada kelompok tertentu dari kalangan umat Islam yang berpolitik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement