Selasa 05 Sep 2017 01:00 WIB

Batu Lempar Jumrah Apakah Harus dari Muzdalifah?

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti
Foto: dokumen
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti

IHRAM.CO.ID, Musim haji tahun ini diperkirakan diikuti sekitar dua juta lebih jamaah. Salah satu kewajiban mereka saat berhaji adalah melempar batu di jamarat. Jumlah batu yang harus dilempar adalah 49 buah bagi yang Nafar Awal dan 70 buah bagi yang Nafar Tsani. Lantas, apakah batu tersebut harus diambil dari Muzdalifah?

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’thi mengatakan, ada dua pendapat terkait batu yang digunakan untuk lontar jumrah. Pendapat pertama mengatakan, batu harus diambil dari Muzdalifah. Pendapat kedua, batu boleh diambil juga dari wiilayah Masya’ir. Wilayah Masya’ir adalah wilayah Arafah, Mina, termasuk tanah haram Makkah.

"Rasulullah memang mengambil batu di Muzdalifah. Sewaktu melakukan perjalanan dari Arafah ke Mina, Rasul mabit di Muzdalifah. Setelah Subuh, Rasul bergerak ke Mina untuk melontar jumrah. Ya, memang afdalnya seperti itu," ujarnya, kemarin.

Tapi, saat ini, untuk mengambil batu di Muzdalifah, tidak memungkinkan. Jangankan untuk mengambil batu, bus berhenti, sudah di suruh jalan. Hal ini disebabkan jutaan jamaah bergerak secara bersamaan menuju Muzdalifah. Sehingga, yang memungkinkan mengambil batu, adalah jamaah berjalan kaki, kemudian mengambil batu dari situ.

"Nah, jamaah yang belum mengambil batu dari Muzdalifah, boleh menyiapkan batu dari wilayah Masya’ir. Yang tidak boleh adalah membawa batu dari Tanah Air," katanya.

Lempar jumrah boleh diwakilkan?

Salah satu wajib haji adalah melempar jumrah. Kewajiban ini dibarengi dengan kewajiban mabit (menginap) di daerah Mina. Jarak antara pemondokan di Mina dengan area melempar, tidak kurang dari 4 KM. Artinya, saat akan melontar, jamaah setidaknya harus berjalan pulang pergi sejauh 8 KM. Kondisi ini terasa semakin berat seiring dengan pergerakan ribuan jamaah secara bersamaan hingga terjadi kepadatan di jalan.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana dengan jamaah yang lanjut usia dan memiliki risiko kesehatan yang tinggi (risti). Bolehkah mereka mewakilkan lempar jumrahnya? Menurut Abdul Mu’thi, badal diberikan sebagai bentuk aturan khusus atau ketentuan khusus dalam ibadah haji.

Ada dua kategori badal. Pertama, badal secara keseluruhan, yaitu badal yang dilakukan sejak dari Tanah Air. Misalnya, ada yang punya nazar untuk melakukan ibadah haji, tetapi karena suatu hal, bisa karena sakit, atau wafat, itu tidak bisa ditunaikan.

Kedua, badal haji bisa dilakukan di Tanah Suci. Ini dilaksanakan, ketika, misalnya setibanya di Tanah Suci, mereka sakit, atau dalam kondisi lain, yang menyebabkan ketidakmemungkinkannya menunaikan salah satu rukun atau wajib ibadah haji.

Dalam konteks yang kedua, badal haji dapat diberlakukan bagi jemaah yang berhalangan mengerjakan wajib haji dan sebagian rukun haji. Nah, wajib haji itu boleh dibadalkan termasuk jumrah.

Badal lempar jumrah itu menjadi boleh karena kondisi tertentu. Dalam bahasa agama disebut dengan al masyaqqah (kesulitan). Jadi, kalau kita beribadah, kita tidak boleh melaksanakan sesuatu yang membahayakan keselamatan diri sendiri atau orang lain, apalagi sampai mengancam kehidupan diri sendiri.

Sehingga ada kaidah ushul fiqh: al masyaqqah tajlibut taysir. Artinya, kesulitan itu menjadikan diperbolehhkan sesuatu, sebagai suatu bentuk kemudahan beragama. Itu juga berkaitan dengan ayat Alquran: ma ja’ala alaikum fiddini min haraji, Allah tidak menjadikan bagimu kesulitan dalam beragama. Oleh karena itu maka berdasarkan pandangan tersebut, menurut saya, badal haji itu boleh dilakukan bagi jemaah yang memang karena kondisinya tidak mampu menunaikan.

"Hanya memang, walaupun ini ikhtilaf, tetapi saya berpendapat, seseorang tidak boleh membadalkan lebih dari satu jamaah haji," ujarnya.

Kemudian, dilakukan ketika seseorang telah menunaikan wajib hajinya terlebih dahulu. Jadi, yang akan membadalkan sudah menunaikannya terlebih dahulu, baru setelah itu lempar untuk yang dibadalkan. Sehingga, harus dilakukan secara terpisah, dengan urutan mulai dari dirinya sendiri dulu, lalu kemudian untuk jamaah yang dibadalkan.

sumber : kemenag.go.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement