IHRAM.CO.ID, OLEH ERDY NASRUL dari Makkah
MAKKAH — Setelah pelayanan katering berhenti, jamaah haji harus mencari makan sendiri. Mereka menggunakan uang saku dari Kementerian Agama (Kemenag) sebesar 1.500 Riyal untuk membeli makanan di sekitar hotel.
“Kami menemukan jamaah yang hanya mengonsumsi mie. Mereka mendatangi tempat belanja untuk beli makanan itu lagi sampai berangkat ke Arafah,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Bidang Agama dan Sosial, Ace Hasan Syadzily kepada Republika.co.id pada Kamis (23/8).
Menurutnya jamaah Indonesia tidak mengetahui tempat makan yang menjual masakan Nusantara. Di sekitarnya hanya ada toko yang menjual masakan Arab yang belum tentu cocok.
Seharusnya, petugas haji tidak menginformasikan tempat – tempat yang menjual masakan khas Asia kepada jamaah. Masakan tersebut dikenal kaya bumbu seperti bawang, sereh, jahe, lengkoas, ketumbar, lada, dan banyak lagi. Sementara masakan Arab kebanyakan menggunakan kapulaga, kayu manis, cengkeh, safron, yang menimbulkan bau masakan khas Arab
Selain itu mereka tidak boleh masak di hotel, dengan alasan, kenyamanan dan mencegah kebakaran. Akhirnya, kata Politikus Golkar ini, mereka tak punya pilihan selain mie instan. Mereka memasaknya dengan menyeduh mie instan beberapa menit, lalu dicampur bumbu penyedap.
“Kami menemukan fenomena semacam ini di beberapa tempat, terutama yang di sekitarnya tidak menjual masakan-masakan Indonesia. Ini harus menjadi catatan penyelenggaraan haji tahun ini,” imbuh Ace.
Pihaknya memahami beberapa hari sebelum prosesi puncak haji (Arafah, Muzdalifah, dan Mina/Armina), kondisi lalu lintas Makkah sangat padat, sehingga tidak memungkinkan pihak katering mendistribusikan makanan ke hotel-hotel jamaah yang terpencar jauh.
Namun demikian, Ace menilai, sebisa mungkin pemerintah jangan membiarkan mereka membeli makanan sendiri. Jamaah harus dibantu, bahkan difasilitasi mendapatkan makanan yang layak, bergizi tinggi, sehingga mereka dapat melaksanakan rangkaian haji.
Baca: Jamaah Haji Kembali ke Hotel
Sejak Kamis (16/8) hingga berangkat menuju Arafah, jamaah tidak mendapatkan makanan yang didistribusikan dapur katering. Penyebabnya adalah kondisi lalu lintas yang padat. Pelayanan katering baru dimulai lagi setelah prosesi haji selesai.
Selama tidak mendapatkan pelayanan tersebut jamaah membeli dan mendapatkan makanan sendiri-sendiri. Mereka dapat menggunakan biaya hidup tadi untuk membeli makanan. Harga makanan di sekitar Makkah bervariasi, mulai 15 hingga 30 riyal. Makanan khas Arab biasanya berupa shawarma dengan daging panggang yang dibungkus tortila.
Ada pula yang berupa nasi khas Arab, seperti mandhi dan bukhori yang ditaburi daging kambing yang lembut. Masakan ini dibuat dari perpaduan bawang, kapulaga, jintan, ketumbar, lada, kayu manis, tomat, dan lainnya. Nasi dimasak dengan kuah kaldu daging yang direbus hingga empuk.
Menu tersebut mudah ditemukan di banyak tempat makan. Sedangkan, menu masakan Indonesia hanya dijual di sejumlah restoran besar. Ada juga warga Indonesia yang tinggal di Saudi (mukimin) yang nekat menjual nasi bungkus dengan lauk khas Indonesia secara diam-diam. Namun sebagian mendapatkan hukuman dari aparat setempat sehingga dagangannya digusur dan penjualnya harus menjalani hukuman.
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin menjelaskan kebijakan menghentikan distribusi dan produksi makanan katering dan juga transportasi dari penginapan menuju Masjid al-Haram merujuk kepada keputusan Komisi Tertinggi Pengawas Transportasi Haji Saudi yang melarang moda transportasi beroperasi di Makkah pada periode tersebut.
Banyak jalan ditutup mulai Kamis (16/8) hingga prosesi haji selesai pada 13 Dzulhijah atau akhir hari Tasyrik. Ketika itu semua jamaah haji sudah menyelesaikan rukun dan wajib haji dengan sempurna. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah lebih dulu selesai melaksanakan rangkaian haji sehari sebelumnya (nafar awal). Pelayanan katering kembali dimulai pada 16 Dzulhijjah atau tiga hari setelah hari tasyrik.