Senin 17 Dec 2018 15:25 WIB

Jeddah yang Memang Beda

Pada 1830-an Jeddah sudah jadi kota yang lebih terbuka

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Agung Sasongko
Kota Jeddah
Foto: Republika/Tommy Tamtomo
Kota Jeddah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Di jalan-jalan utama seantero Jeddah maupun bangunan-bangunan di sana, mudah menemukan slogan kota itu terpampang. Jeddah Ghair bunyinya. Dalam Bahasa Indonesia, ia kurang lebih berarti Jeddah Memang Beda.

Lokasi paling tepat membuktikan slogan itu barangkali di wilayah tepian pantai di sepanjang corniche selatan dan utara Jeddah. Lokasi itu kontras dengan kebanyakan wilayah lain di Arab Sau di. Ia dihiasi taman-taman dan plaza yang hijau dipenuhi pohon-pohonan, jalan-jalan setapak yang rapi, serta toilet-toilet umum modern.

Sore hari menjelang malam, saat mentari sudah tak sedemikian terik dan kebanyakan warga Saudi memulai aktivitas luar ruangan mereka, kawasan Hamra dan Obhur tersebut pe nuh dengan pria dan wanita yang berolahraga. Para laki-laki dengan kaus oblong dan celana pendek. Yang perempuan menutupkan abaya ke atas baju olahraga mereka, sebagian tak berjilbab.

Wilayah yang dijilati Laut Merah tersebut baru pada 2017 lalu diselesaikan perombakannya jadi taman-taman yang elok. Bangku- bangku taman di mana-mana, warung-warung yang menjual kopi dan berbagai penganan berdiri membelah jalan. Ia kini tempat yang menyenangkan ditingkahi senja di langit Jeddah yang lebih sering bersih tanpa awan itu.

Pengelana legendaris asal Maroko, Ibn Batutah, menuliskan dalam catatan perjalannya, bahkan pada 1830-an Jeddah sudah jadi kota yang lebih terbuka dibandingkan kota-kota lain di Hijaz. Sejarahnya, merujuk kisah lokal bisa ditarik dari asal nama kota itu, jaddahyang artinya nenek.

Nama itu seturut kepercayaan tempatan bahwa Siti Hawa, ibu pertama umat manusia meninggal di Jeddah meski lokasi legendaris kuburannya saat ini tak lagi terbuka untuk umum.

Posisi kota itu sebagai persinggahan kapal- kapal dagang sejak maupun jamaah haji sejak abad ke-7 agaknya berperan membentuk keterbukaan tersebut. Puritanisme ketat Kerajaan Arab Saudi tak sedemikian terasa di kota ini. Di pusat-pusat perbelanjaan, warga Jeddah berbaur tak canggung dan relatif lebih ramah terhadap warga asing ketimbang daerah- daerah lain, bahkan Riyadh yang merupakan ibu kota atau Yanbu, kota pantai lainnya.

Belakangan, seturut tekad Kerajaan Saudi melancarkan modernisme dan keterbukaan, kota ini jadi salah satu ujung tombaknya.Perempuan Saudi menyupir sendirian yang sedemikian lama dilarang pihak kerajaan sudah saya temui di kota ini, meski larangan itu baru dicabut belum setahun lalu.

Pusat Perbelanjaan Corniche

Kawasan pusat perbelanjaan ini sedianya di luar wilayah Kota Tua, tapi tak sebegitu jauh. Ia sejak lama jadi tujuan utama para jamaah haji Indonesia guna mencari rerupa buah tangan untuk dibawa ke Tanah Air. Berbagai toko suvenir tersebar di kawasan ini. Salah satu yang bisa langsung dicapai dari jalan besar adalah Toko Ali Murah.

Nama toko itu tak sedemikian jujur jika menengok perbandingan harga-harga suvenir di dalamnya dengan yang dijual di pelataran di dalam Kota Tua atau pasar-pasar lain di Madinah dan Makkah. Meski begitu, ia salah satu yang paling lengkap menjual rerupa cendera mata.

Jika lapar dan rindu dengan masakan Tanah Air, di lokasi itu ada juga warung makan Bakso Mang Udin dan Ayam Bakar Wong Solo yang menjual berbagai kuliner khas nusantara seperti bakso, mi ayam, gado-gado, soto, ayam bakar, sop buntut, nasi goreng, dan sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement