Rabu 15 Apr 2020 04:31 WIB
Mekkah

Kisah Sensor Missonaris Pada Syair Rihlah Mekkah dan Madinah

Soal sensor missinonirs pada rihlah haji

Jamaah haji zaman dahuku tengah menulis catatan di atas kapal yang hendak ke Mekkah.
Foto: gahetna.nl
Jamaah haji zaman dahuku tengah menulis catatan di atas kapal yang hendak ke Mekkah.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Rihlah atau catatan perjalanan, terutama yang terkait ibadah haji ternyata sejak dahulu menjadi kajian serius pemerintah kolonial. Tampaknya ini bagian yang mutlak karena sebagai cara mengontrol pengaruh para haji pada perjuangan melawan kekuasannya. Sebab, galibnya haji kala itu memang mereka anggap sebagai orang yang 'berbahaya'.

Terkait soal tersebut ada catatan menarik dari Henry Chambert-Lhoir, penulis buku ‘Naik Haji Di Masa Silam’. Dalam buku itu dia mengisahkan seperti ini:

Syair Mekkah dan Madinah memang diduga sudah lama diabaikan dalam studi-studi akademik tentang ibadah haji di kalangan orang Melayu mungkin karena teksnya ditulis dalam bentu syair, tidak dalam bentuk prosa yang memang lebih banya jumlahnya dan lebih disukai peneliti Eropa di zaman kolonial.

Saya kira inilah salah satu penyebab mengapa ‘Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekkah yang ditulis dalam bentuk prosa sering mendapat perhatian dari para peneliti. Lagi pula Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi lebih dekat kepada para penginjil Eropa yang diasistensinya, seperti Pendeta Thomson dan Keasberry.

Kedekatan Abdullah dengan patron Eropanya secara langsung atau tidak tentu membantu promosi karya-karyanya, dengan cara menerbitkan atau mengadakan penelitian terhadap karya-karyanya seperti tersebut dan penulisnya.

Keadaan ini berbeda dengan Syair Makkah dan Madinah yang, baik di era naskah maupun di era cetak batu (lithography), diusahakan oleh orang-orang Melayu sendiri. Akan tetapi mungkin karena itu pula syair Mekkah dan Madinah ini luput dari ‘worried eyes’ pemerintah Belanda dan Inggris yang cenderung mengontrol teks-teks yang mengandung syair tentang Islam dan tanah Arab. Ini karena dianggap dapat menggelorakan semangat anti penjajahan di kalangan penduduk Nusantara.

Tidak seperti kisah ‘Kitab Pelayaram Abdullah ke Mekkah’ yang sempat ‘disensor’ oleh para missionaris seperti Klinkert dan selama zaman kolonial lebih diapresiasi oleh para sarjana barat (khususnya Belanda dan Inggris), Syair Mekkah dan Madinah justru telah memperoleh apresiasi yang cukup luas di Semenanjung Melayu. Bahkan teks semacam ini bisa dijadikan semacam ‘Islamic Guide’ yang awal oleh para calon jamaah haji Nusantara yang akan pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Pada kanyataan lain, juga Pelayaran Abdullah memang berbeda dengan Syair Mekkah dan Madinah.  Kisah ini lebih banyak berkisah menegenai suka duka di perjalanan sejak bertolak dari Singapura ke pelabuhan Jeddah. Sayang sekali Abduulah bin Abdul Kadir Munsyi tidak mendeskripsikan situasi tentang Makkah karena keburu meninggal ketika baru saja dalam beberapa hari menginjakkan kaki di Makkah pada pertengahan Mei 1854. Keadaan diperjalanan hanya mengambil satu syair saja di dalam teks syair itu. Sebaliknya Syair Mekkah dan Madinah lebih lebih banyak menggambarkan keadaan di Mekkah dan Madinah serta proses ibadah haji itu sendiri.

Imbasnya adanya dua teks itu terjadi perbedaan. Kisah perjalanan Abdullah ke Mekkah lebih banyak bercerita tentang kisah pilu perjalanan haji ke Makkah yang membuat pembaca penuh takut dan ngeri, sebalaiknya syair Mekkah dan Madinah menggmbarkan prosesi haji dengan penuh kegembiraan dan mengundang minat pembacanya untuk pergi ke Makkah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement