Selasa 02 Jun 2020 15:38 WIB
haji

Haji Sunan Bonang, Sunan Giri, Hingga Hamazah Fansuri

Haji perjalanan ruhaniyah

Tawaf bersama rembulan di Ka
Foto:

Ada dua perjalanan Haji yang dilukiskan Hamzah Fansuri. Yaitu perjalanan secara lahiriyah/badaniah dan perjalanan secara ruhaniah/spiritual. Keterangannya mungkin dapat dicari pada risalah tasawuf yang dia pelajari kala itu.

Misalnya risalah tasawuf abad ke-11 M karangan Ali Utsman al-Hujwiri yang popular pada abad yang lalu. Dalam risalah yang dimaksud diisebutkan bagi para sufi ibadah haji merupakan kasyf (tabir) yang harus disingkap sebelum seorang salik (pejalan ruhani) mencapai makrifat. Haji memiliki makna zahir maupun batin yang harus digapai oleh seorang reiligius.

Menurut Hujwiri, haji itu wajib bagi setiap Muslim yang berakal sehat, yang mampu melaksanakan dan dewasa, Haji adalah memakai pakaian haji (ihram) di tempat yang ditentukan, singgah di Arafah, mengelilingi Ka’bah tujuh kali dan berlari antara Shafa dan Marwa.

Dikatakan pula bahwa selama itu berlangsung tidak diperkenankan memasuki kawasan suci (haram). Disebut kawasan suci karena di situ terdapat jejak atau maqam Nabi Ibrahim a.s. Kita diingatkan pula bahwa Nabi Ibrahim a.s. memiliki dua maqam, yaitu maqam badaniah dan maqam ruhaniah. Makam badaniah yang dimaksud merujuk pada Mekkah, yaitu maqam persahabatan (khullat).

Mereka yang mencapai badaniah harus nafikan semua hawa nafsu, semua indra dan hadir di padang Arafah dan dari sana kemudian menuju Musdalifa dan Masyar al-Haram, mengambil batu-batu untuk dilempar dan kemudian mengelilingi Ka`bah,


Sajak Hamzah Fansuri lebih jauh dapat dihubungkan dengan pandangan sufi bahwa haji merupakan tindakan mujahadah dan musyahadah. Misalnya pada pernyataan tokoh tasawuf abad ke-11 M Muhammad bin al-Fadl.

Menurut al-Fadl, ka`bah di Mekkah adalah rumah Tuhan di alam dunia, sedangkan di alam keruhanian rumah Tuhan ialah hati (qalb). Perjumpaan dengan Tuhan (liqa’)  yang penting setelah di rumah-Nya di dunia ialah ialah dalam hati berupa kesaksian dalam hati alias musyahadah.

Baris dalam syair Hamzah Fansuri, “Di Barus ke Quds terlalu payah/ Akhirnya jumpa dlam rumah” merujuk kepada musyahadah yang dimaksud al-Fadl. Ungkapan “Di Barus ke Quds...” maksudnya adalah perjalanan malam seperti dilakukan Nabi dari Medina ke Yerusalem atau Quds. Nabi melakukannya sebelum mikraj dan orang Islam melakukan perjalanan malam lewat shalat malam atau tahajud. Sehingga akhirnya “Jumpa dalam rumah”. Yaitu rumah ruhani penyair yang tak lain adalah kalbu.

Dalam Kasyf al-Mahjub al-Hujwiri mengatakan yang dimaksud musyahadah ialah penglihatan ruhani terhadap Tuhan secara umum dan pribadi. Sufi tertentu mengaitkan dengan pernyataan Abdul Abbas bin Atha. Atha mengutip al-Quran 41:30,  sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa “Tuhan kami adalah Allah” dan kami mengukuhkan keimanan mereka”.

Muhammad bin al-Fadl pun berkata, “Aku heran pada orang-orang yang mencari ka’bahnya di alam dunia belaka. Mengapa mereka tidak melakukan musyahadah tentang-Nya di dalam hati mereka”.

Abu Yazid al-Bhistami berkata, “Pada hajiku yang pertama aku hanya melihat ka`bah; kedua kalinyaaku melihat ka’bah dan Tuhannya ka’bah; ketiga kalinya aku hanya melihat Tuhan semata....Tempat suci ada di mana musyahadah ada...”

---------

*Dipetik dari Epilog buku 'Tawaf Bersama Rembulan' Karya Muhammad Subarkah Jurnalis Republika 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement