IHRAM.CO.ID, Oleh, Dr Mastuki HS*
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Lukmanul Hakim mengkritik muatan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker)yang berkaitan halal justru menghilangkan substansi halal itu sendiri (Republika, 9/10/2020).
Dia mencontohkan kebijakan self declare halal yang dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) mendegradasi makna sertifikasi halal karena bertentangan dengan kaidah halal sebagai produk hukum yang penetapannya berdasarkan syariat Islam. Isu lain yang "di-omnibus-law-kan" adalah kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)yang dibatasi hanya mengeluarkan fatwa penetapan halal, dan penggratisan UMK dalam pengurusan sertifikat halal.
Bermula dari bunyi pasal 4A dalam UU Ciptaker yangmenyebut “kewajiban bersertifikat halal didasarkan pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil”, klausul ini menjadi bola panas. Klausul pernyataan sendiri oleh pelaku usaha bahwa produknya halal (populer disebut halal self declare) jika dipahami secara parsial dan melepas dari konteksnya, mesti saja timbul kesan seolah-olah self declare itu bertentangan dengan penetapan sertifikat halal yang selama ini berjalan.
Padahal klausul iniada kelanjutannya,yaitu “pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil itu berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH”. Artinya, pernyataan halal atau halal self declare tidak bisa serta-merta dilakukan pelaku UMK. Mesti mengikuti standar halal yang dirumuskan BPJPH.
Nomenklatur self declare sebenarnya bukan hal yang tiba-tiba muncul dalam UU Ciptaker. Sejak Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker dari pemerintah melakukan serangkaian pembahasan dan rapat dengar pendapat DPR RI dengan organisasi kemasyarakatan, istilah ini sudah diperkenalkan. Media banyak meliput pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi bahwa pelaku UMK yang omzet tahunannya di bawah 1 milyar dapat melakukan selfdeclare dan dibebaskan dari biaya sertifikasi halal alias nol rupiah.
Ada sejumlah alasan mengapa selfdeclare ini diajukan. Pertama, terkait dengan praktik pelaksanaan sertifikasi halal yang dirasakan masyarakat mahal, lama, dan membebani pelaku usaha, terutama UMK. Kedua, pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal (mandatory) untuk semua jenis produk dan pelaku usaha dalam UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal akanmemberatkan UMK jika tidak ada jalan keluar yang tepat.
Ketiga, praktik pernyataan halal sebenarnya secara parsial pernah dilaksanakan oleh ormas keagamaan dan perguruan tinggi dalam bentuk sumpah halal dan pernyataan laik halal. Di berbagai tempat, praktik semacam itu juga terjadi dengan istilah yang berbeda seperti ikrar halal, akad halal, surat keterangan halal, dan sebagainya. Dalam beberapa hal, konsep seperti itu mirip dengan self declare yang ada dalam UU Ciptaker.
Keempat, semangat UU Ciptaker adalah kemudahan berusaha bagi setiap warga negara, perijinan terintegrasi, dan keberpihakan pada pelaku UMK.Mewajibkan sertifikasi halal bagi jutaan UMK pastilah butuh effort yang tinggi dan waktu yang lama jika dilakukan dengan cara-cara business as usual. Makanya harus ada strategi alternatif mendorong UMK memenuhi kewajiban bersertifikat halal, dan pada saat yang samasektor ini diharapkan menopang perekonomian nasional.
Standar Sertifikasi Halal untuk UMK
Halal Center (Pusat Kajian Halal) Pesantren Bahrul Maghfirah di kota Malang Jawa Timur memiliki sistem penjaminan mutu halal internal (SPMHI) yang dipraktikkan untuk pembinaan UMK di sekitar pesantren. Profesor Mohammad Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Maghfirah dan mantan Rektor Universitas Brawijaya Malang menyebut sertifikasi halal bagi UMK harusnya sederhana dan disederhanakan prosesnya, karena menyangkut aspek halal atau fiqih, tidak dicampuradukkan dengan tayib atau pertimbangan sains.
Jika saat ini sertifikasi halal prosesnya ribet dan butuh waktu lama karena faktor penyertanya, yakni sains, turut dijadikan syarat penetapan kehalalan. Campur aduk antara syarat perijinan dan substansi juga menjadi penghambat lamanya proses sertifikasi halal. Menurutnya, sertifikasi halal semestinya lebih fokus kepada pemenuhan standar halal, berdasarkan fiqih atau syariat Islam. Fleksibel, tidak kaku dan mengutamakan rahmat bagi umat.
Data faktual menunjukkan pelaku usaha mikro dan kecil mencapai 59.627.964unit atau 98,89 persen dari total usaha di Indonesia. Kewajiban UMK untuk memiliki sertifikat halal mestinya dibarengi penerapan standar sertifikasi halal yang lebih fleksibel dan tidak ribet,dibedakan dengan proses sertifikasi halal pada umumnya.
Selama sertifikasi halal bersifat voluntary dan umumnya yang sadar melakukan sertifikasi halal produk adalah industri menengah dan besar, mungkin proses layanan seperti berlaku selama ini tak masalah. Namun saat kewajiban bersertifikat halal diberlakukan bagi semua produk, tak terkecuali produk UMK, pelayanan yang serba-terpusat dan satu-cara tak sepenuhnya bisa diandalkan.Apalagi sebaran UMK hingga ke desa-desa dan pelosok kampung.
Kebanyakan pelaku usaha kecil dan mikro seperti pedagang kaki lima, usaha rumahan, pengasong makanan/minuman, atau pedagang pasar tradisional menghadapi kendala utama soal ijin usaha, kesulitan mencari bahan baku halal, dan biaya untuk produksi.
Jika pun mereka memproduksi barang baik sebagai penjual (seller) ataupun pembuat produk (maker), usaha yang dilakukan kebanyakan untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga (lifelihood activities). Karena itu, kebutuhan mereka sejatinya adalah pendampingan dan pembinaan soal halal.