Kamis 15 Oct 2020 13:15 WIB

Sumpah Halal untuk Produk UMKM dan Mengapa Perlu ?  

Sumpah halal untuk UMKM pernah diterapkan di Malang, Jawa Timur

Sumpah halal untuk UMKM pernah diterapkan di Malang, Jawa Timur Ilustrasi Makanan Halal
Foto:

 Apa Keberatannya? 

Praktik baik (best practice) akad halal yang dilaksanakan MUI Malang tersebut sayangnya tak berlanjut karena alasan yang non-syariah. Padahal ada efek positif dari pemberlakuan akad sumpah terhadap perkembangan usaha. Konsumen semakin percaya (timbul trust), produsen merasa terbantu.

Pabrik dan industri yang memproduksi bahan merasa berkewajiban mengurus sertifikasi halal produknya. Semakin banyak bahan yang bersertifikat halal dari supplier, semakin memudahkan pelaku usaha kecil dan mikro menjaminkan produknya halal, dan memudahkan mereka mengajukan self declare. 

Contoh lain, kebetulan sama-sama di Malang, Pusat Studi Halal Thayyib Science Center Universitas Brawijaya juga pernah mengeluarkan ikrar halal untuk kantin kampus. Sampai sekarang, piagam ikrar halal itu masih berlaku dan memotivasi kantin-kantin kampus lain meniru menjadi “kantin halal”.

Dengan menerapkan standar halal dan sistem penjaminan mutu yang ketat, sejumlah fasilitas kampus Universitas Brawijaya akhirnya mengantongi sertifikasi halal.

Idealnya, penetapan halal yang sesuai kaidah dan telah memenuhi norma hukum syariat dalam masyarakat mayoritas muslim seperti Indonesia harus dinyatakan sebagai halal.

Namun demikian, karena ada saja pelaku usaha yang tak taat dalam melakukan proses produk halal, tak mengerti bahan halal, atau penyembelihan hewan yang tak memenuhi tuntunan syariat Islam. Karenanya tetap perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan tentang halal.

photo

 Dr Mastuki, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH
 (Republika/Putra M. Akbar)

Kalimat terakhir ini menemukan relevansinya dengan tugas BPJPH yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan produk. Bahkan melalui UU 33 tahun 2014, fungsi pengawasan ini melahirkan profesi baru, yakni pengawas jaminan produk halal. 

Dalam konteks self declare, pembinaan dan pengawasan ibarat setali mata uang. Ujung dan pangkal. Sertifikasi halal berada di antara pembinaan dan pengawasan. Dan sertifikat halal seharusnya diberi (oleh negara), bukan diminta oleh pelaku usaha.

Dengan sukarela saja sudah banyak pelaku usaha membutuhkan kepastian produknya halal, apalagi dengan kewajiban. Namun, kondisi pelaku usaha yang bervariasi, terutama UMK, perlu mekanisme penetapan kehalalan produk yang memenuhi keadilan bagi jenis-jenis usaha kecil yang jumlahnya jutaan di Indonesia. Maka dengan self declare atau akad halal sebenarnya memberikan solusi, jalan keluar terhadap pelaksanaan sertifikasi halal yang saat ini menjadi mandatory bagi pelaku usaha dan produk yang beredar di pasaran.

*Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH dan Dosen Pascasarjana Universitas NU Indonesia (UNUSIA) Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement