Ahad 27 Dec 2020 08:52 WIB

NU, Muhammadiyah, Masyumi: Sejarah Ironi Ukhuwah Islamiyah

Mencari ukhuwah Islamiyah yang lama hilang.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto:

Konflik Kepentingan dan Intervensi Penguasa

Ahmad Syafii Maarif melanjutkan bahwa setelah diterbitkan maklumat pemerintah tanggal 1 November 1945 mengenai pembentukan partai-partai politik di Indonesia, maka dalam Muktamar Umat Islam tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta ditetapkanlah Masyumi sebagai partai politik Islam satu-satunya di Indonesia.

Sambutan luar biasa ditunjukkan oleh kaum Muslimin, terutama dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Di dalam pedoman partainya disebutkkan bahwa Masyumi merupakan partai Islam yang menjunjung prinsip musyawarah, kedaulatan rakyat,  hak asasi manusia, dan toleransi dalam rangka menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Namun kesatuan umat Islam itu terkoyak ketika mereka dalam berinteraksi justru lebih menonjolkan fanatisme kelompok masing-masing daripada kemaslahatan bersama. Pada 1947 Partai Sarekat Islam Indonesia meninggalkan Masyumi untuk mendapatkan jabatan politik di kabinet Amir Syarifuddin.

Peristiwa yang menggoncang persatuan umat Islam terjadi tatkala Nahdlatul Ulama (dengan jumlah pengikutnya yang sangat besar) menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik terpisah berdasarkan keputusan muktamar NU ke-19 di Palembang tanggal 28 April sampai 1 Mei 1952. 

Kelompok-kelompok non-Masyumi (yakni NU, PERTI, dan PSII) juga membentuk perhimpunan tersendiri bernama Liga Muslimin Indonesia pada 30 Agustus 1952. Akibatnya, perolehan suara partai Masyumi di pemilu 1955 berada di bawah Partai Nasional Indonesia.

Sedangkan posisi partai NU di urutan ketiga di atas Partai Komunis Indonesia. Tidak hanya itu, partai Masyumi pun kemudian berakhir tragis setelah dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.

Sebaliknya, partai NU tidak mengalami nasib seperti yang menimpa Masyumi karena NU bersikap akomodatif dan mendukung penuh terhadap kepemimpinan Soekarno. Perbedaan sikap politik NU itu didasari prinsip kehati-hatian dan menghindari bahaya besar (akhaffudl dlararain) sesuai situasi pemerintahan demokrasi terpimpin saat itu yang sangat represif.

Kalangan NU menilai Masyumi terlalu didominasi oleh kelompok modernis dan perorangan. Idham Khalid (tokoh NU), sebagaimana dikutip Lathiful Khuluq dalam Kyai Haji Hasyim Asy’ari’s Thought and Political Activities (1871-1947), mengatakan bahwa empat jatah menteri telah diambil Masyumi, sedangkan NU hanya meminta satu kementerian agama dan itupun tidak dipenuhi.

Bahkan, menurut Choirul Anam, NU yang sebelumnya sering diremehkan telah berupaya membentuk Biro Politik NU pada tahun 1947 yang bertugas menyelesaikan konflik dengan Masyumi, namun tidak direspon.

Adapun pihak non-NU (di antaranya Ahmad Hassan dari Persatuan Islam) yang tidak menyetujui keputusan pemisahan NU dari Masyumi memandang bahwa NU telah melupakan wasiat ukhuwwah Islamiyah KH Hasyim Asy’ari. Demikian ditulis oleh Remy Madinier dalam penelitiannya mengenai Masyumi.

Kondisi perpecahan politik umat Islam itu dibaca dengan jeli dan dimanfaatkan oleh kalangan nasionalis sekuler yang dengan mudah mempermainkan dan melemahkan kekuatan Islam.

Keterpurukan umat Islam semakin parah ketika penguasa menerapkan kebijakan keras kepada siapa saja yang beroposisi dan melawan kebijakan politik pemerintah Indonesia dengan menyematkan tuduhan radikal, kontra-revolusi, anti Nasakom, anti UUD 1945, maupun anti Pancasila.

Strategi “politik belah bambu” dijalankan penguasa sehingga kelompok Islam yang mendukung pemerintah diangkat setinggi-tingginya, sedangkan kelompok Islam yang berseberangan diinjak serendah-rendahnya. 

Meskipun pada perkembangan berikutnya umat Islam diperbolehkan menyalurkan hasrat politiknya dalam wadah kepartaian, tetapi perpecahan politik itu belum teratasi.

Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang terbentuk tahun 1967 tidak berhasil merehabilitasi Masyumi pada era Orde Baru.Partai Persatuan Pembangunan yang seakan-akan menjadi wadah penghimpun partai-partai Islam pada tahun 1973 tidak berkutik menghadapi dominasi penguasa (Golkar beserta birokrasinya).

Demikian pula, kegagalan partai-partai Islam yang muncul setelah era reformasi 1998. Apalagi hingga kini tidak dijumpai figur teladan yang mampu mempersatukan aspirasi politik umat Islam.

Berkaca dari persoalan di atas, kaum Muslimin dituntut untuk mengoptimalkan kemampuannya serta merekatkan kembali jalinan komunikasi ukhuwwah Islamiyahnya, baik melalui jalur politik maupun sosial kemasyarakatan.

Partai-partai politik berbasis Islam dan para pemilihnya berasal dari kalangan penganut Islam seharusnya mengutamakan kemaslahatan umat Islam yang mayoritas di Indonesia ini dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatis golongan maupun sektarian. 

Lembaga Majelis Ulama Indonesia yang mewadahi ormas-ormas Islam diharapkan dapat semakin responsif terhadap persoalan kebangsaan dan keumatan sambil tetap mempertahankan independensinya dalam menyampaikan tuntunan keislaman dan menyerukan pengamalan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan nyata.

Segala perselisihan di antara umat Islam harus dihentikan segera. Seluruh ormas Islam (terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang merupakan ormas Islam terbesar) semestinya berjalan seirama dalam memperjuangkan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.  stabilitas, dan kemakmuran terwujud.   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement