Ahad 27 Dec 2020 08:52 WIB

NU, Muhammadiyah, Masyumi: Sejarah Ironi Ukhuwah Islamiyah

Mencari ukhuwah Islamiyah yang lama hilang.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto:

Fenomena permusuhan sesama Muslim semacam itu seakan-akan telah mengikis ikatan persaudaraan Islam. Akibatnya, kerugian tentu dialami sendiri oleh kaum Muslimin.

Kita (sebagai warga Indonesia dan sekaligus pemeluk agama Islam) perlu melakukan refleksi tentang ukhuwwah Islamiyah itu karena keterbelahan umat itu mestinya tidak dikehendaki terjadi.

Pembahasan mengenai kesatuan dan perpecahan umat Islam Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah Indonesia, yakni keberadaan organisasi penting bernama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang  dipergunakan umat untuk memperjuangkan kemaslahatan Islam secara bersama-sama.

Menurut Choirul Anam di dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, MIAI terbentuk atas inisiatif para tokoh pergerakan Islam. Mereka adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang (Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan dari Surabaya (Nahdlatul Ulama, bukan pendiri Muhammadiyah), KH Mas Mansur dari Surabaya (Muhammadiyah), dan Warkhadun Wondoamiseno dari Pasuruan (Sarekat Islam). 

Mereka mereka mengadakan rapat tanggal 18-21 September 1937 di Pesantren Kebondalem, Surabaya, yang diasuh KH Ahmad Dahlan.

Pembentukan MIAI itu termotivasi oleh QS. Ali ‘Imran [3]: 103, artinya Berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah Swt dan janganlah bercerai berai”. 

Di samping itu, kesepakatan mendirikan MIAI itu sekaligus menindaklanjuti seruan persatuan dari Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari (ulama panutan kaum Muslimin Indonesia) di forum Muktamar Nahdlatul Ulama ke-11 di Banjarmasin pada 8-12 Juli 1936.

Kala itu beliau menyaksikan kondisi umat Islam yang sangat mudah mengkafirkan dan membid’ahkan sesama Muslim.

MIAI merupakan satu-satunya wadah persatuan umat Islam di Indonesia yang senantiasa memperjuangkan kemaslahatan Islam, termasuk mengajukan tuntutan hukum agar penjajah Belanda menindak tegas pelaku penistaan agama Islam dengan membentuk Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dalam Kongres Muslimin Indonesia ke-3 di Solo tanggal 7-8 Juli 1941.

MIAI juga bekerja sama dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) dalam menyalurkan aspirasi politik rakyat Indonesia pada tahun 1939.  

Ahmad Syafii Maarif di dalam bukunya Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante menjelaskan bahwa MIAI yang sangat menentang kolonialisme kemudian dibubarkan penjajah Jepang pada 24 Oktober 1943. Oraganisasi ini kemudian diganti dengan Masyumi dengan harapan lembaga ini dapat mudah dikontrol oleh pemerintah kolonial.

Sebagaimana MIAI, ormas besar Islam yang menjadi pendukung utama Masyumi  adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Karena Jepang membutuhkan bantuan agar memenangkan perang Asia Timur Raya, maka dibentuklah Shumubu (Kantor Departemen Agama) yang mula-mula dikepalai oleh Kolonel Horie (dari Jepang), kemudian digantikan Husein Djajadiningrat, dan selanjutnya dipimpin KH Hasyim Asy’ari demi mendapatkan dukungan umat Islam melalui pengaruh besar dan kewibawaan Hadratusy Syaikh.

Kaum Muslimin juga memaksimalkan sikap lunak Jepang yang berbeda dari Belanda itu dengan membentuk pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang dikomandani oleh ulama untuk mempertahankan tanah air Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement