IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa adanya mahram bukan syarat wajib haji bagi perempuan dalam suatu keadaan. Pendapat itu berdasarkan hadis riwayat Aisyah ra, Ibnu Umar ra, Ibnu Zubair ra, Imam Atha, Ibnu Sirin, al-Auza'i.
"Pendapat itu merupakan Imam Zuhri, Qatadah, Hakam bin Utaibah, Daud Dzahiri dan pengikutnya," katanya.
Aisyah pernah ditanya, "Apakah perempuan tidak diperkenankan berpergian kecuali dengan mahramnya?" Beliau menjawab, "Tidak semua perempuan mempunyai mahram."
Dari Nafi, hamba sahaya Ibnu Umar ra ia berkata "Abdullah bin Umar pernah bepergian bersama para hamba sahayanya yang perempuan dan mereka tidak disertai mahram mereka."
Imam Atha pernah ditanya tentang seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya dan tidak didampingi suaminya, tetapi beserta hamba hamba sahayanya yang perempuan yang senantiasa mengikutinya pada waktu turun dari kendaraan, penjagaan dan naik ke kendaraan.
Imam Atha berkata, "Ya, boleh! Hendaknya ia berhaji."
Imam Ibnu Sirin berpendapat. "Tidak apa-apa seorang perempuan keluar dengan seorang laki-laki muslim."
Imam Malik berpendapat. "Seorang muslimah boleh keluar bepergian tanpa disertai mahram asalkan bersama kelompok muslimat."
Imam Hammad berpendapat, "Tidak apa-apa seorang muslim bepergian tanpa disertai mahram asalkan bersama kaum muslimin yang sholeh-sholeh."
Imam Auza'i berpendapat seorang muslimah boleh keluar bepergian dengan rombongan yang terpercaya."
Imam Syafi'i berkata, "Seorang muslim boleh keluar dengan seorang muslim lain yang mereka lagi terpercaya."
Imam ibn Hajm berpendapat, "Seorang muslimah yang tidak punya mahram sesungguhnya boleh berhaji dan ia tidak dikenai apa-apa. Namun jika ia mempunyai suami, suaminya wajib menyertai istrinya berhaji. Jika ia tidak menemaninya apa enggak sama suami itu berdosa kepada Allah SWT tingkat tetap berangkat haji dengan rombongan lain, maka istrinya tidak dikenai apa-apa"
Menurut pendapat kedua dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat adanya mahram adalah syarat wajib haji bagi perempuan dan itu termasuk pendapat Hasan, Ikrimah, Ibrahim, an-Nakha'i, Imam Thawus, as-Sabi, Ishaq, Tsauri, Ibnu Munzir.