IHRAM.CO.ID, Setelah enam tahun nyantri di Tebuireng, KH Arief Hasan pulang ke kampung halamannya di Beratkulon. Saat itu, usianya sudah menginjak 22 tahun. Umur yang masih tergolong sangat muda. Namun, ia langsung dipercaya untuk memberi pengajian di berbagai majelis.
Tugasnya kebanyakan menggantikan posisi ayahnya yang memiliki kegiatan rutin mengaji kitab. Amanah ini berarti pula pengakuan dari bapaknya, dirinya sudah dianggap mampu membaca kitab kuning dengan lancar.
Seiring berkembangnya waktu, Arief mulai memiliki tempat di hati masyarakat Desa Beratkulon. Ia bahkan mulai dipanggil dengan sebutan kiai meskipun usianya relatif muda.
Pada 1 April 1939 Kiai Arief kemudian mendirikan Pondok Pesantren Roudlatun Nasyi'in. Nama pesantren ini d iambil dari bahasa Arab. Secarah harfiah, raudhah berarti 'taman', sedangkan nasyi'in bermakna 'kaum muda yang tengah berkembang.'
Awalnya, tercatat hanya tujuh orang santri yang mukim di sana. Namun, lama kelamaan jumlah santri yang dibimbing Kiai Arief terus bertambah.
Tidak hanya dari kawasan Mojokerto. Cukup banyak pula yang datang dari luar kota, semisal Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Surabaya, dan bahkan luar Jawa. Selain membangun pesantren, ia pun mendirikan berbagai lembaga edukasi formal yang membuka level pendidikan tingkat dasar hingga menengah atas.
Halaman 2 / 5
Sebagai seorang pengasuh pesantren, Kiai Arief menyadari bahwa proses mencari dan mengamalkan ilmu tentu tak pernah sepi dari aral melintang.
Jika tidak rajin-rajin memberikan motivasi, ia khawatir para santri akan cepat menyerah. Dalam mendidik mereka, ia pun sangat tegas.
Rupanya, pola didikan Kiai Hasyim Asy'ari di Pondok Pesantren Tebuireng begitu membekas dalam dirinya. Kiai Arief turut menerapkan gaya kepemimpinan Mbah Hasyim di Pesantren Roudlatun Nasyi'in. Tak jarang, santri-santrinya terkena sanksi karena keteledoran mengaji.
Setelah Kiai Arief wafat, kepengasuhan Pesantren Roudlatun Nasyi'in diamanatkan kepada putranya, Gus Arifin, yang dibantu kedua saudaranya, Gus Irfan dan Ning Arifah. Dengan keteguhan hati dan dukungan dari segenap keluarga dan kolega Kiai Arief, Gus Arifin optimistis menyongsong perubahan gemilang bagi kelangsungan pondok pesantren tersebut. Tradisi membaca kitab kuning yang diwariskan Kiai Arief tetap dipertahankan.
Bagaimanapun, kebaruan tetap ada. Ini didasari optimisme bahwa penguasaan ilmu agama harus diimbangi dengan pemahaman disiplin keilmuan umum kontemporer. Sebagai contoh, para santri tidak melulu harus menguasai bahasa Arab saja, tetapi juga bahasa Inggris. Keahlian dalam bahasa asing tersebut juga dianggap penting sebagai bekal mereka dalam mencapai cita-cita di era modernisasi dan globalisasi.
Karena itulah, pondok Pesantren Roudlatun Nasyi'in kini tidak cuma berisi ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu bahasa. Pelan namun pasti, kini lembaga tersebut merajut identitas menjadi pesantren modern.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook