Sabtu 30 Oct 2021 02:06 WIB

Nasib Politik Islam di Tunisia

Situasi politik di Tunisia ditentukan antara partai, gerakan, dan pemilih.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Aparat keamanan Tunisia berjaga usai Presiden Kais Saied membekukan parlemen dan membubarkan pemerintahan, Ahad (25/7)
Foto:

Oleh karena itu, Ennahda masih dapat menemukan tempat meskipun lebih kecil, dalam sistem politik baru, apakah termasuk dalam dialog nasional atau tidak.

Terakhir, kemerosotan atau hilangnya politik Ennahda tidak serta-merta berarti hilangnya kepentingan, gagasan, dan kebijakan yang dianutnya. Literatur ilmu politik menunjukkan bahwa sistem politik dapat menjadi tidak stabil sehubungan dengan kelangsungan hidup partai tetapi masalah dan program yang sama dapat bertahan di partai yang berbeda dari posisi politik yang sama.

Mengingat pengunduran diri baru-baru ini, politik Islam di Tunisia dapat mengikuti jalan yang mirip dengan kasus Turki di mana sayap pembaru Partai Fazilet berpisah dari gerakan utama untuk membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Parti) pada tahun 2001, empat tahun setelah kudeta pasca-modern tahun 1997 

Jika para pemimpin yang mengundurkan diri dari Ennahda memilih untuk berorganisasi sebagai partai baru, ini dapat memungkinkan mereka untuk menghidupkan kembali politik Islam di negara itu, menciptakan sebuah partai konservatif baru yang jelas dapat dibedakan dari gerakan sosial. Contoh AK Parti memberi tahu kita bahwa usaha semacam itu perlu menarik populasi yang lebih besar di luar basis dukungan mereka yang biasa dan bahwa hal itu perlu dilakukan di bidang ekonomi agar berhasil.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement