Undang-undang anti-separatisme memiliki banyak implikasi bagi kebebasan beragama umat Islam yang tinggal di Prancis. Ini termasuk penjagaan polisi yang ketat terhadap tempat-tempat ibadah dan organisasi keagamaan, serta pemberlakuan pembatasan terhadap 'homeschooling' bagi siswa Muslim.
"Meskipun di luar cakupan artikel ini untuk mencakup semua implikasi ini, salah satu elemen paling kontroversial dari undang-undang tersebut adalah perluasan dari apa yang disebut 'prinsip netralitas' yang melarang pegawai negeri sipil mengenakan simbol agama, seperti hijab muslim dan mengekspresikan pandangan politik, di luar pegawai sektor publik hingga semua kontraktor swasta layanan publik, seperti mereka yang bekerja untuk perusahaan transportasi," papar Hashimi.
Amandemen lainnya juga dimasukkan dalam rancangan awal RUU tersebut, yang mencakup larangan pakaian renang ukuran penuh (burkini), serta larangan anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan jilbab di depan umum, dan ibu-ibu dari mengenakan jilbab pada perjalanan sekolah anak-anak mereka. Amandemen ini kemudian dibatalkan.
"Terlepas dari desakan berulang kali pemerintah Prancis bahwa undang-undang ini tidak serta merta memilih komunitas Muslim, namun jelas bahwa undang-undang anti-separatisme memang menargetkan Muslim mengingat efeknya yang tidak proporsional terhadap kebebasan perempuan Muslim," kata Hashimi.
Dia mengungkapkan, memang sulit memahami mengapa negara Barat, mencoba mengganggu cara wanita memilih untuk berpakaian. Negara, yang mengklaim memperjuangkan nilai-nilai liberal dan hak asasi manusia, terlebih lagi yang memproklamirkan diri sebagai benteng nilai-nilai liberal seperti Prancis.
"Bisakah undang-undang serupa disahkan di Australia? Jawaban singkatnya adalah, ya. Jawaban panjangnya adalah, mungkin ada jalan hukum, tetapi terbatas," kata Hashimi yang juga asisten peneliti dan tutor kasual di Western Sydney University.