Mengetahui sikap orang tuanya dari pertemuan sebelumnya, Aditya menyiapkan mental dengan matang. Saat tiba di Mabes Polri, Hoegeng bertanya kemantapan hati putranya tersebut masuk ke dunia militer. Anehnya, kala itu Hoegeng berpesan agar anaknya tidak masuk polisi. Sebab ia tidak ingin ada Hoegeng lainnya di instansi kepolisian.
"Mendengar ucapan itu, saya mau ketawa tapi takut," ujar dia.
Selepas berbincang ringan, Aditya menanyakan perihal surat izin yang ia minta beberapa hari lalu. Akan tetapi, Hoegeng tidak memberikannya dan meminta anaknya pergi.
Dalam pikirannya, mungkin saja ayahnya hanya tinggal mengirimkan radiogram dari Mabes Polri untuk syarat pendaftaran AKABRI. Setelah keluar dari Mabes Polri, ia baru menyadari bahwa pendaftaran sudah tutup dua hari yang lalu."Jadi beliau monitor sampai hari pendaftaran tutup, baru dia panggil saya," ujarnya.
Rasa kecewa dan marah menyelimuti hatinya. Sebab, cita-citanya ingin masuk AKABRI tidak kesampaian hanya karena ayahnya tidak memberikan surat izin orang tua.Saking emosinya, Aditya meluapkan kemarahannya kepada kuas-kuas milik Hoegeng yang digunakan untuk melukis. Tanpa pikir panjang semua kuas tersebut digunduli.
Ketika Hoegeng pulang bekerja, ia meminta pembantu untuk memanggil anaknya laki-lakinya itu. Namun, karena sudah terlanjur kesal dan marah Aditya menolak bertemu dengan bapaknya.
Pada akhirnya, Jenderal Hoegeng sendiri yang datang ke kamarnya dan mengajak anaknya tersebut berbicara dari hati ke hati.Dengan perasaan yang masih gondok, akhirnya ia mau keluar kamar dan berbicara di meja makan bersama ayahnya. Selama pembicaraan, ia sama sekali tidak mau melihat wajah ayahnya karena masih kesal atas kejadian sebelumnya.
"Kala itu bapak bilang, Dit sekarang kita bicara antara Hoegeng dengan dirimu, antara anak dan ayah," kata dia mengulangi pembicaraan saat itu.