Selama tahap ini, proyek penelitian ini ternyata menemukan kejutan lainnya. Mereka menemukan bukan hanya satu atau dua patung unta, tapi ada tujuh patung batu unta seukuran aslinya yang hampir pudar.
Dengan menyisir tumpukan puing-puing yang telah disingkirkan oleh buldoser, para arkeolog juga menemukan dua relief skala kecil dan dua yang terfragmentasi.
Sejumlah alat ukur lain digunakan untuk menguji hipotesis mereka. Selain OSL, mereka juga menggunakan spektrometri fluoresensi sinar-X untuk menguji pahatan dan kandungan bahan kimia mangan yang dapat terurai. Lithics yang ditemukan di situs terdekat juga diberi tanggal, termasuk juga sejumlah tulang yang ada.
Biasanya, kerangka diberi tanggal berdasarkan jumlah kolagen tulang yang dikandungnya. Namun, mengingat kondisi kolagen yang kurang terpelihara di lingkungan gurun, para arkeolog memilih menguji mineral bioapatit dan karbonat hidroksiapatit sebagai gantinya.
Dari hasil penelitian dan proses panjang tersebut, mereka menentukan usia tamuan ini sekitar 7.000 dan 8.000 tahun. Selain menentukan usia pahatan, pengukuran ini juga mengajarkan para arkeolog tentang orang-orang yang mengukirnya dan tujuan sosial dari pahatan tersebut.
Setelah menganalisis situs secara langsung, para ahli menyimpulkan setiap pembuatan patung batu unta harus membutuhkan waktu antara 10 dan 15 hari.
Mengingat ukuran patung, tampaknya mereka tidak dapat diselesaikan tanpa adanya perancah. Lingkup pengerjaan kreatif ini, dari waktu yang dibutuhkan hingga jenis alat yang terlibat, menunjukkan keberadaannya pasti memiliki tujuan penting.
Ide ini didukung oleh desain patung-patung itu sendiri, yang seolah-olah menceritakan sebuah kisah khas bagi komunitas yang menciptakannya.
"Pertambahan berat badan dan referensi ke musim kawin di relief unta menunjukkan, mereka mungkin secara simbolis terhubung ke siklus tahunan musim hujan dan kemarau di mana perubahan biologis ini terjadi dan berkaitan," kata Guagnin yang juga menjabat sebagai juru bicara Institut Max Planck.
Meskipun patung-patung itu penting dan dipelihara oleh generasi pemukim di sekitarnya, namun tujuan pasti mereka baik dari sisi agama atau komunal disebut masih belum jelas.
“Salah satu fungsi situs seni cadas secara umum tidak hanya simbolisme dan kepercayaan aktual yang mungkin terkait dengan citra masyarakat. Ini adalah cara untuk menandai ruang, tempat kita datang untuk bertemu,” lanjutnya.
Meskipun pemukiman prasejarah di semenanjung Arab jarang, sporadis, serta sering bersifat sementara, patung batu unta di Al-Jawf menunjukkan ada lebih banyak pemukim awal daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Mengutip para arkeolog, penelitian di tempat pertemuan simbolis ini mungkin lebih kuno, daripada gabungan Stonehenge dan Piramida Giza. Hal ini membawa wawasan baru tentang gambaran masyarakat dan seremonial yang kompleks dari periode prasejarah di Arabia utara.