IHRAM.CO.ID, KABUL -- Media Afghanistan kesulitan untuk bertahan sejak Taliban berkuasa di negara itu. Serial romantis menghilang setelah Taliban memperingatkan terhadap konten yang dianggap cabul.
Selain itu, acara TV yang menampilkan pemeran wanita juga dihentikan setelah militan itu mengatakan mereka tidak ingin jurnalis wanita mengudara. Sementara investigasi berita dibatalkan setelah pejabat Taliban menuntut dilakukannya pemantauan sebelum apapun disiarkan.
Karena itu tidak mengherankan, jika sebagian besar orang yang biasa mendengarkan Radio Sanga, yang pernah menjadi salah satu stasiun paling populer di Afghanistan selatan, telah dimatikan.
Pemilik Radio Sanga, Agha Sher Munar, mengatakan masih ada beberapa konten yang menyenangkan. Akan tetapi ia tidak yakin apakah mereka dapat melanjutkannya. Radio Sanga telah kehilangan hampir 80 persen dari 1,5 juta pendengarnya dan memberhentikan sepertiga jurnalisnya, termasuk ketiga wanita yang bekerja di sana. Tak hanya itu, banyak gairahnya untuk jurnalisme juga telah hilang.
"Taliban meminta kami untuk membagikan apapun sebelum kami menyiarkannya, jadi sekarang kami hanya mengulangi berita yang telah beredar di stasiun resmi. Baru-baru ini saya mendengar tentang sebuah insiden di kota, dan saya bahkan tidak tertarik mengirim siapa pun untuk memeriksanya," kata Agha Sher Munar, dilansir di The Guardian, Rabu (1/12).
Sektor media yang berkembang di Afghanistan dipandang sebagai salah satu dari sedikit kisah sukses dalam dua dekade terakhir, yang menonjol di wilayah di mana penyensoran, penangkapan, dan bahkan pembunuhan jurnalis lebih umum daripada dukungan untuk kebebasan pers.
Akan tetapi dengan kembalinya Taliban, industri media di negara itu terjun bebas. Puluhan jurnalis yang takut akan pembalasan karena liputan mereka melarikan diri dari Afghanistan, dan lainnya bersembunyi. Selain itu, banyak wanita dipaksa keluar dari posisi mereka di industri media.
Keruntuhan ekonomi juga memukul gerai-gerai yang lebih kecil. Menurut pengawas pers Afghanistan NAI, lebih dari 250 surat kabar, radio dan stasiun TV tutup dalam 100 hari pertama pemerintahan Taliban, dan sekitar 70 persen jurnalis kehilangan pekerjaan.
Itu berarti jauh lebih sedikit berita yang keluar dari Afghanistan, tepat ketika negara itu berada di ambang krisis kemanusiaan yang dahsyat, dan perluasan wilayah ISIS membuat keamanannya menjadi perhatian internasional.
"Ketika saya bertemu teman-teman, mereka mengatakan 'media sudah bubar'. Entah kita harus meninggalkan negara ini, atau kita harus mencari pekerjaan lain," kata Habibullah, seorang fotografer di kota utara Mazar-e-Sharif yang berencana menjadi sopir taksi.
Selain tidak ada uang untuk membayar gaji mereka, masalah yang lebih besar adalah peraturan informal Taliban yang membuat bekerja sebagai fotografer berita hampir tidak mungkin.
"Jika ada kecelakaan, atau serangan, Anda tidak bisa langsung ke sana untuk mengambil foto, Anda harus berbicara dengan Taliban terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan. Tetapi kemudian kami rindu menunjukkan kenyataan. Butuh empat atau lima jam untuk mendapatkan izin dan pada saat itu semuanya sudah dibersihkan," ujar Habibullah.
Selama bertahun-tahun, Taliban disebut telah menargetkan wartawan untuk pembunuhan dan penculikan. Akant tetapi pada Agustus lalu, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berjanji kepada juru kampanye kebebasan pers RSF bahwa tidak ada ancaman atau pembalasan yang akan dilakukan terhadap wartawan di bawah kekuasaan kelompok itu.
Di sisi lain, Taliban sebagian besar telah memberikan kebebasan kepada koresponden asing, memungkinkan pelaporan kritis dan mendorong pujian di media sosial atas kesediaan pasukan untuk terlibat.
Bagi media Afghanistan, pekerjaan ini jauh lebih rumit dan berbahaya. Kerumitan dari peraturan resmi baru dan pengendalian lokal informal, yang kerap diturunkan secara lisan, telah membuat pelaporan berita jauh lebih berisiko.
Selain itu, serangan tingkat tinggi seperti pemukulan kejam terhadap dua jurnalis yang meliput protes memiliki dampak mengerikan pada reporter lainnya. Tidak hanya itu, sensor melampaui laporan resmi. Seorang jurnalis yang mengunggah sesuatu yang kritis di akun Facebook pribadinya dipanggil ke kantor Taliban dan diperingatkan untuk tidak mengunggah hal-hal negatif lagi.
Bagi para manajer, pendekatan ketat Taliban terhadap hiburan membuat sulit untuk menemukan program yang menarik. Di samping itu, beberapa talenta terbaik telah meninggalkan negara itu, bersembunyi, atau berhenti.
"Belum ada keputusan resmi bahwa kami tidak boleh mempekerjakan wanita atau memutar musik, Taliban hanya mengatakan itu kepada kami," kata manajer stasiun radio Zma di Kandahar, Sayed Satar Mahtabi.
"Kami meminta semacam peraturan resmi yang melarang musik, dan ketika kami tidak mendapatkannya, kami terus memutarnya," tambahnya.