IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Pemerintah Arab Saudi memiliki peraturan perundang-undangan baru, di mana subjek hukum (orang atau badan hukum asing) boleh memiliki aset di kota suci di Arab Saudi.
Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Bidang Investasi dan Kerjasama Luar Negeri, Hurriyah El Islamy, mengatakan peraturan itu dikenal Makkah Law namanya.
"Undang-undang baru yang disebut Makkah Law ini mengizinkan beberapa bentuk kepemilikan untuk warga atau lembaga asing termasuk instansi seperti BPKH," kata Hurriyah saat berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (22/12).
Hurriyah mengatakan, ada dua cara kepemilikan yang dapat dilakukan oleh subjek hukum asing. Pertama dengan investasi atas tanah baik dengan bangunan atau tanpa bangunan (bisa dibangun sendiri).
"Ketentuan ini bersifat benefisial right atau hak kepemilikan ini diberikan sehingga 99 tahun. Seperti leasehold sifatnya yang tentunya bisa diperpanjang atas kesepakatan kedua pihak," ujarnya.
Sementara opsi kedua, menurut doktor bidang hukum jebolan UK, University of Strathclyde Glasgow ini merupakan pilihan yang juga ditawarkan di Makkah Law dan kebetulan sudah mempunyai dasar hukum di peraturan perundangan yang mengatur mengenai tata cara investasi Keuangan Haji di luar negeri. "Perlu diingat bahwa BPKH mengelola dana haji dan dana abadi umat (DAU)," katanya.
Menurut Hurriyah yang juga penerima penghargaan BI sebagai Pegiat Ekonomi Syariah Internasional dan Nasional 2018 ini menjelaskan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan Peraturan Pemerintah no 5 tahun 2018 mengamanatkan kedua dana tersebut ditempatkan dan diinvestasikan dengan perbedaan bahwa nilai manfaat dari pengelolaan dana haji dikembalikan untuk jamaah haji.
"Sementara nilai manfaat dari pengelolaan DAU dimanfaatkan untuk program kemaslahatan umat Islam Indonesia," katanya.
Hurriyah mengatakan, Makkah Law memungkinkan kepemilikan abadi (perpetual title) atas tanah di Makkah dan Madinah untuk instansi atau warga asing apabila tanah tersebut dijadikan wakaf.
Sebagaimana telah ada sejak lebih 400 tahun lalu tanah-tanah wakaf Aceh di Makkah, secara hukum dan peraturan baik di KSA mau pun BPKH, DAU dapat diinvestasikan untuk membeli tanah dan bangunan yang kemudian diwakafkan untuk jamaah haji Indonesia dengan menetapkan BPKH sebagai nadhir. "BPKH kemudian menyewa tanah dan bangunan tersebut dari DAU wakaf jamaah Haji Indonesia," katanya.
Nantinya kata dia, uang sewa yang dibayarkan dari investasi BPKH menjadi nilai manfaat atas DAU (kantong kanan-kantong kiri). BPKH dapat berkerja-sama dengan pihak yang kompeten dan profesional untuk pengelolaan bangunan.
Dana yang dihasilkan dari pengelolaan bangunan tersebut (sewa akomodasi/hotel oleh jamaah haji dan umroh) menjadi nilai manfaat atas investasi dana haji yang didistribusi kembali ke jemaah haji. Baik dalam bentuk uang yang dibayarkan ke rekening virtual jamaah menunggu dan dalam bentuk subsidi untuk pemberangkatan jamaah haji setiap tahun berjalan.