IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad Saw selalu mengedepankan dampak maslahat dan mafsadatnya dari keputusannya meski hal tersebut berimbas pada batalnya ibadah umroh.
"Contoh fenomenal dalam hal ini adalah ketika Nabi Saw lebih mengutamakan memilih tawaran berdamai dengan para pemimpin musyrikin Makkah dan menghindari perang jihad ketika beliau dan kaum muslimin dihadang dari memasuki Kota Makkah untuk menunaikan umroh pertama kalinya pada tahun 7 Hijriyah," tulis KH Jeje Zaenudin dalam bukunya "Politik Hukum Islam".
KH Jeje mengatakan, meskipun kebijakan beliau itu sangat ditentang oleh para sahabat yang siap perang jihad daripada memilih berdamai. Terlebih lagi persyaratan serta isi perjanjian itu sangat melecehkan Rasulullah dan merugikan umat Islam.
"Kaum musyrikin menolak penyebutan status Nabi Saw dalam naskah perjanjian itu sebagai Rasulullah, mereka hanya menerima jika Nabi Muhammad disebut sebagai Muhammad putra Abdullah saja," katanya.
Mereka juga menolak lafadh mulia "Bismillahirrahmanirrahim" sebagai pembuka dari naskah perjanjian tersebut. Namun demikian, Nabi Muhammad Saw tetap bersikukuh menerima tawaran perdamaian tersebut dan menandatanganinya.
"Beliau membatalkan niat umrohnya dan menggantinya dengan menyembelih qurban sebagai diyat pembatalan umrohnya," ujarnya.
Karena umroh sudah dibatalkan, kaum muslim kemudian pulang ke Madinah. Menurut catatan sejarah Nabi Muhammad pulang ke Madinah diiringi oleh sekitar 1400 sahabatnya yang membawa perasaan sedih serta kecewa yang amat mendalam.
Bagaimana tidak, mereka sudah sangat rindu untuk thawaf di Ka'bah, kemudian telah menempuh perjalanan berhari- hari dari Madinah ke Makkah dengan harapan dapat menunaikan ibadah umroh. Namun tiba-tiba dihalau dan disuruh pulang oleh kaum musyrikin di tempat yang hanya beberapa kilometer lagi untuk masuk ke Makkah.
"Nabi menerima ajakan perdamaian itu meskipun harus membatalkan umrohnya dengan kesepakatan diganti tahun depan," katanya.
Padahal, para sahabat waktu itu, jika disuruh memilih antara menerima ajakan berdamai atau berperang demi bisa masuk ke Makkah, maka para sahabat siap memilih berperang. Mereka siap perang sampai gugur sebagai syuhada atau menang dan masuk ke Kota Makkah.
"Daripada harus berdamai dan membatalkan niat umroh mereka," katanya.
Tapi keputusan itu bukanlah kewenangan kaum muslimin secara kolektif ataupun pribadi, melainkan hak prerogatif dan kewenangan. Rasulullah sebagai Imam umat Islam yang lebih paham bagaimana menjaga keselamatan jiwa kaum muslimin harus didahulukan daripada sekedar semangat keberanian untuk syahid.
"Kemudian menjaga nasib kelangsungan dakwah untuk masa depan umat manusia serta mempersiapkan kemenangan yang lebih besar di masa yang akan datang," katanya.