IHRAM.CO.ID,JAKARTA—Arab Saudi telah menghadirkan Virtual Black Stone Initiative, Ka’bah di dunia virtual Metaverse yang sudah dapat dikunjungi sejak akhir Desember 2021. Meski begitu inisiatif Kerajaan ini menuai pro dan kontra, termasuk dari Pakar Fikih Indonesia KH Mahbub Maafi yang menegaskan bahwa ibadah haji adalah ibadah fikih yang tidak bisa divirtualkan.
“Haji itu ibadah fisik, jadi tidak bisa divirtualkan. Ka’bah di Metaverse itu hanya sebagai latihan saja, seperti manasik haji. Jadi mereka yang ‘berhaji’ di metaverse itu hakikatnya hanya gambaran saja, latihan. Kalau haji yang sebenernya harus tetap hadir secara fisik di tanah suci,” tegasnya saat dihubungi Republika, Rabu (9/2/2022).
Meski kini pandemi telah membatasi umat Muslim dari seluruh dunia untuk menunaikan rukun islam terakhir tersebut, namun Kyai Mahbub mengingatkan bahwa segala ritual dalam ibadah haji mengharuskan pelaksananya untuk menjalankan ibadah tersebut secara langsung (fisik) bukan melalui dunia maya seperti metaverse.
“Kalau pun sekarang, karena pandemi, semua serba terbatas termasuk haji dan umrah, tapi tidak bisa semuanya divirtualkan. Ibadah haji itu ibadah fisik, ada tawafnya, arafahnya, sai, lalu kalau lewat metaverse, tawaf atau sai-nya gimana?” ujar Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) itu.
“Semua ibadah dalam haji dan umrah itu adalah ibadah yang menuntut adanya kehadiran secara fisik. Maka konsekuensinya kalau jamaah itu tidak hadir secara fisik, maka yang dia lakukan di metaverse itu tidak bisa dihitung sebagai ibadah, tapi latihan sebelum melakukan ibadah yang sesungguhnya,” jelasnya.
Metaverse, kata Kyai Mahbub, memang bisa dijadikan sarana bagi umat Muslim untuk latihan berhaji atau berumrah, sehingga para jamaah dapat merasakan pengalaman melihat Ka’bah atau situs suci secara virtual sebelum mengunjunginya secara langsung di kemudian hari. Ibadah haji dan umrah, kata dia, merupakan momen luar biasa dan penting dalam hukum Islam, karena selain beribadah, haji dan umrah ini merupakan sarana untuk lebih mendekatkan hubungan spiritual manusia dengan Sang Pencipta, jelasnya.
“Itu sesuatu yang menggetarkan dan menghadirkan pengalaman spiritual yang tidak mungkin didapat melalui haji atau umrah di metaverse,” ujarnya.
“Selama ibadah haji ini masih bisa dilakukan secara fisik, masih ada wujudnya dan masih bisa didatangi secara langsung, maka dia harus dilakukan secara fisik. Karena itu, jika kita melihat Kabah, melakukan sai atau menyentuh Hajar aswad secara virtual itu tidak bisa disebut ibadah haji, tapi latihan ibadah haji. Maka harus dipahami nalar pikirnya,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan platform kunjungan Ka’bah secara virtual melalui Metaverse bisa bermanfaat untuk mengenali lokasi yang akan dijadikan tempat pelaksanaan ibadah. “Namun, terkait pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Ka’bah secara virtual tidak cukup karena itu tidak memenuhi syarat ibadah haji,” kata Asrorun kepada Republika.co.id, Rabu (9/2).
Asrorun menjelaskan, ibadah haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat tauqify yang berarti tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan. Ada beberapa ritual yang membutuhkan kehadiran fisik.
“Haji itu merupakan ibadah mahdlah dan besifat dogmatik yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad,” ujarnya.
Selain itu, pelaksanaan manasik haji terkait dengan kunjungan di beberapa tempat. Misal, thawaf yang tata caranya mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari sudut Hajar Aswad secara fisik dengan Ka’bah berada di posisi kiri.
"Manasik haji dan umroh tidak bisa dilaksanakan dalam hati, angan-angan, atau secara virtual. Termasuk dilaksanakan dengan cara mengelilingi gambar Ka'bah, atau replika Ka'bah. Kunjungan virtual bisa dilakukan untuk mengenalkan sekaligus persiapan pelaksanaan ibadah atau biasa disebut latihan manasik haji atau umroh,” tambahnya.