Ketika mendengar protes atas penggunaan jilbab di perguruan tinggi, pengadilan tinggi provinsi mengeluarkan perintah sementara yang menyerukan pembukaan kembali sekolah. Namun, mereka bersikeras siswa tidak mengenakan pakaian keagamaan, sampai keputusan akhir diambil. Perintah itu semakin membuat marah mahasiswa yang memprotes dan aktivis hak asasi manusia di seluruh negeri.
Seorang aktivis hak-hak Muslim dan sekretaris nasional Gerakan Persaudaraan, Afreen Fatima, menyebut kejadian ini sebagai perilaku apartheid. Ia menilai ada segregasi institusional yang terjadi terhadap Muslim, terutama Muslim yang taat.
"Sekarang, ada laporan mahasiswa Muslim yang mengenakan hijab mendapatkan pembelajaran di ruang kelas yang terpisah,” kata Fatima. Hal ini merujuk pada insiden sebuah perguruan tinggi di Karnataka yang mengizinkan masuk siswa berhijab, tetapi di ruang kelas yang berbeda.
Ia melihat larangan jilbab di lembaga pendidikan sebagai bagian dari rencana yang lebih besar oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) sayap kanan yang berkuasa, untuk menjadikan Muslim sebagai "warga kelas dua" di negara itu.
BJP dan RSS disebut mengambil inspirasi dari Nazi Jerman. Kala itu, orang Yahudi dipisahkan, diisolasi dan dianiaya.
Lebih dari 130 kelompok feminis dan demokratis di 15 negara bagian India telah menyatakan solidaritas dengan para mahasiswa. Sebuah pernyataan bersama yang didukung oleh kelompok-kelompok ini mengatakan mereka berdiri dalam solidaritas dengan wanita Muslim, terlepas mereka mengenakan jilbab atau tidak, agar diperlakukan dengan hormat dan menikmati hak sepenuhnya.