IHRAM.CO.ID, RAMALLAH -- Pernyataan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett yang menolak campur tangan negara lain pada urusan Masjid Al Aqsha memicu kemarahan warga Yordania dan Palestina. Posisi itu dipandang sebagai pengingkaran terhadap perjanjian damai Yordania-Israel 1994 yang memberi Yordania peran dalam mengelola dan mengawasi kesucian Islam dan Kristen di Yerusalem.
"Kami menolak campur tangan asing apa pun," kata Bennett saat dia mencabut perjanjian antara Israel dan Yordania tentang pengelolaan kompleks Masjid Al-Aqsha dan mencegah serangan oleh pemukim Yahudi ke halaman masjid, seperti dilansir Arab News, Selasa (10/5/2022).
Komite Palestina di Parlemen Yordania mengecam pernyataan tersebut. Menurutnya, apa yang disampaikan Bennett tidak bertanggung jawab. Ia meminta Bennett untuk tidak menguji kesabaran dua miliar Muslim di dunia. Komite mengutuk pernyataan Bennett yang dapat menyulut konflik agama di kawasan itu. Bagi Komite, Israel telah mengkudeta realitas bersejarah Masjid Al Aqsha dan Yerusalem.
Sementara itu, Anggota parlemen Yordania Mohammed Al-Zahrawi menyebut Israel sebagai kekuatan pendudukan kolonial yang mempraktikkan terorisme dan kriminalitas terhadap rakyat Palestina. Dia mengatakan, Israel tidak memiliki legitimasi agama, sejarah atau hukum di Yerusalem.
Komite Palestina di Parlemen Yordania juga menegaskan kembali penolakan Yordania terhadap pembagian temporal dan spasial Al Aqsa, dan menekankan Yerusalem akan tetap menjadi ibu kota Palestina.
Aktivis Perdamaian Terkemuka Israel, Gershon Basking menyampaikan, Wakaf Yordania harus diperkuat, diperbesar, dan diberdayakan. Diperlukan koordinasi yang tepat antara Wakaf dan polisi Israel sehingga harus memungkinkan situasi di mana polisi tidak perlu memasuki kompleks.
Menurut Basking, kunjungan non-provokatif oleh non-Muslim harus diizinkan dan bahkan didorong. Untuk itu, anggota Wakaf harus memfasilitasi kunjungan tersebut dan menggunakannya untuk berbicara tentang Islam dan tempat-tempat suci.