Senin 12 Sep 2022 16:30 WIB

Manuskrip Bersejarah yang Tersisa di Irak

Irak merupakan bagian penting dari sejarah peradaban Islam.

Manuskrip bertuliskan huruf arab dari peradaban Mesopotamia era Islam di Museum Mosul dirusak pasukan ISIS di Irak
Foto:

Dengan segala yang tersisa setelahnya, manuskrip tetap ditulis dan perpustakaan tetap bertahan. Kondisi kemudian berubah saat para pemimpin Mongol menjadi Muslim, mereka menjadi penjamin akan kerberlangsungan tradisi ilmu ini meski tak sejaya pada masa lalu. Pada abad ke-14, manuskrip sains dan mushaf Alquran kembali diproduksi.

Setelah Turki Utsmani menaklukkan Irak pada 1534, manuskrip-manuskrip para ulama dipindahkan ke Istanbul. Sejumlah naskah sejarah lokal Baghdad dalam bahasa Arab dan Turki yang ditulis pada abad ke-17, 18, dan 19 kini terpencar di London, Berlin, New York, Kazan, Istanbul, Kairo, Makkah, dan Madinah meski sebagiannya masih tertinggal di Irak.

Pada abad ke-19, Eropa mulai serius memerhatikan Irak atau mereka menyebutnya Mesopotamia. Sejumlah benda kuno termasuk manuskrip dipindahkan ke Eropa untuk menjadi koleksi privat maupun publik.

Seorang residen dari Inggris yang ditempatkan di Irak pada 1808 Masehi, Claudius James Rich, sempat berkeliling Irak dan mengumpulkan 1.000 manuskrip dalam bahasa Arab, Persia, Turki, dan Suriah. Ia kemudian ditarik kembali ke Inggris pada 1821.

Setelah Rich meninggal, semua koleksi itu dibeli British Museum sebagai koleksi perpustakaan yang kini menjadi British Library. Ironisnya, Pemerintah Inggris menyetop pemulangan kembali koleksi milik Rich tersebut agar bisa dipertahankan menjadi milik British Library. Ada pula potongan karya dan manuskrip yang menjadi koleksi para miliarder.

Proses ini memang memiliki plus dan minus. Di satu sisi, Irak dan negara-negara Arab serta Muslim kehilangan sumber sejarah dan literatur mereka. Di sisi lain, manuskrip serta aneka peninggalan sejarah lainnya tersebut akan terjaga baik, jauh dari potensi perusakan yang mungkin terjadi bila masih berada di negara asalnya. Selain itu, lebih sulit bagi para peneliti untuk mengakses manuskrip ini di perpustakaan Irak.

Apa yang dikoleksi Rich pun sebenarnya tak hanya karya para ilmuwan Muslim, ada pula karya para ilmuwan Kristen yang ditulis di bidang sains dan agama. Karya-karya ini ditulis dalam bahasa Suriah, Arab, dan Armenia.

Pada 1920-an, ilmuwan Kristen asal Irak, Alphonse Mingana dan Edward Cadbury, mengumpulkan manuskrip dari Irak. Semua karya itu kini tersimpan di Universitas Birmingham.

Meski begitu, puluhan ribu manuskrip masih tersisa di Irak. Setelah Irak menjadi sebuah negara pada abad ke-20, pengumpulan manuskrip ini dimulai. Pada 1923, sebuah museum nasional didirikan di Baghdad dan gedung permanennya mulai berdiri pada 1926. Museum nasional ini menjadi pusat koleksi manuskrip nasional Irak hingga akhirnya didirikan perpustakaan manuskrip nasional Irak pada 1988. 

 

Pada 1928, Public Awqaf Library membentuk sembilan kelompok koleksi manuskrip yang diserahkan sukarela dari para pemegangnya. Manuskrip ini berasal dari era Turki Utsmani dan abad-abad setelahnya. Perpustakaan publik dan akademik lain yang tersebar di Irak juga turut menampung koleksi manuskrip bersejarah ini. Pada paruh kedua abad 20, mayoritas bangsa Arab dan negara-negara Islam juga mengoordinasikan pengumpulan manuskrip bersejarah semacam ini. 

sumber : Islam Digest
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement