IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama (Kemenag) Nizar Ali mengatakan Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan keberagamaan dan kebangsaan. Menurutnya, setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi.
Pertama, berkembangnya cara, sikap dan perilaku beragama yang ekstrem, yang mengabaikan martabat kemanusiaan. Saat ini masih terjadi berbagai kejadian yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, yang mana dilarang dalam agama.
Kedua, berkembangnya klaim kebenaran subjektif dari tafsir agama. Mereka menolak perbedaan dan mengklaim hanya pendapatnya yang benar, sementara yang lainnya salah. Padahal, warna warni perbedaan pemahaman mestinya menjadi sebuah kekayaan yang luar biasa.
Ketiga, berkembangnya cara pandang, sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Misalnya, sikap menolak hormat kepada bendera merah putih saat upacara.
"Permasalahan ini penting dicarikan solusinya jika ingin menciptakan harmonisasi di tengah tengah masyarakat. Salah satu solusinya adalah penguatan moderasi beragama. Jika secara konseptual moderasi beragama sudah difahami dan diterapkan, insya Allah damai,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika, Senin (19/9).
Hal ini ia sampaikan dalam kegiatan Penguatan Moderasi Beragama bagi Aparatur Sipil Negara jajaran Kementerian Agama Sumatra Barat.
Selanjutnya, ia menyatakan harapannya agar ASN Kementerian Agama yang berjumlah 235 ribu, termasuk yang non ASN, mendapat penguatan moderasi beragama. Hal ini disebut sebagai tanggung jawab bersama.
Sejak tahun 2019, Kementerian Agama sudah menyusun konsep penguatan moderasi beragama, yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Penguatan moderasi beragama, kata Nizar, pada dasarnya berupaya memberikan pemahaman tentang pentingnya menghadirkan negara sebagai rumah bersama, yang adil dan ramah bagi seluruh elemen bangsa. Dengan demikian, semuanya bisa menjalani kehidupan agama yang rukun, damai dan makmur.
Ia pun menyebut setidaknya ada empat penyelarasan relasi agama dan negara. Pertama, agama dan politik. Artinya, menjadikan nilai agama sebagai fatsoen politik, bukan mempermainkan agama untuk kepentingan politik.
Kedua, agama dan layanan publik. Maksudnya, menyelenggaran pelayanan publik secara adil dalam memenuhi hak-hak sipil, tanpa diskriminasi.
Ketiga, agama dan hukum. Yaitu menekankan tujuan penerapan hukum untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan tanpa memaksakan formalisasi hukum agama.
Keempat, agama dan ekspresi publik. Pengertiannya, memberikan kebebasan beragama di ruang publik sesuai koridor hukum. “Jangan kemudian hukum dijadikan alat untuk melegitimasi kekerasan,” ujar dia.