IHRAM.CO.ID,Sesudah terbitnya Kitab al-`Ibar, Ibnu Khaldun masih bertempat tinggal di Qal'at. Dari waktu ke waktu, reputasinya kian berkibar.Namanya semakin dikenal sebagai seorang pengamat sosial dan sejarah yang brilian di sekujur Afrika Utara dan Andalusia.
Namun, penyakit kemudian menyerangnya. Seperti dikutip dari Encyclopedia Britannica, Ibnu Khaldun merasa sakitnya itu dapat berangsur- angsur hilang dengan jalan keluar dari Qal'at. Dengan perkataan lain, dirinya ingin kembali menjadi seorang yang bebas, bukan semacam pesakitan politik yang diasingkan.
Ia lantas meminta restu kepada penguasa Tunis agar diizinkan berkelana. Alasannya, hendak menyusun sebuah karya historiografi yang lebih mendalam. Di tengah maraknya suara- suara sumbang para intelektual yang iri hati kepadanya, izin itu pun terbit. Ibnu Khaldun pun dapat pergi ke Mesir, sebelum akhirnya menyambangi Makkah untuk naik haji. Waktu itu, usianya genap 50 tahun.
Di negeri delta Sungai Nil itu ia menyempatkan diri untuk singgah di Iskandariah. Dalam catatan perjalanannya, ia memuji kota pesisir tersebut. Pujian yang sama juga diungkapkannya untuk Kairo, ibu kota Dinasti Mamluk Mesir. Mereka yang belum melihatnya langsung belum mengetahui kekuatan Islam, tulisnya.
Penguasa Mamluk, Barquq, menerimanya dengan tangan terbuka.Bukan hanya diizinkan untuk mengajar di al-Azhar, Ibnu Khaldun pun diangkat menjadi kadi agung fikih Mazhab Maliki.
Barquq wafat. Maka naiklah Faraj sebagai raja Mamluk berikutnya. Pada awal abad ke-15, wilayah Mamluk di Syam menjadi incaran Timur Lenk.Walaupun sama-sama Muslim, penguasa yang juga komandan militer itu memiliki darah Mongol dalam dirinya.Ambisinya pun menjadi raja utama di daratan Asia.
Pada 1401, Faraj mengikutsertakan Ibnu Khaldun dalam ekspedisi militer ke Damaskus guna mengusir balatentara Timur. Sudah setahun lamanya kota utama di Syam itu dikepung Mongol- Muslim tersebut. Namun, Faraj tidak berdaya. Anak Barquq itu justru kembali ke Mesir, meninggalkan rakyat Damaskus dalam situasi genting.
Ibnu Khaldun tidak ikut balik ke Kairo. Sementara, Timur melalui mata- matanya mengetahui kabar keberadaan sang sosiolog penulis Muqaddimahitu di Damaskus. Maka diutuslah seseorang untuk mengawali korespondensi.Dimulailah surat-menyurat antara Ibnu Khaldun dan Timur.
Sang jenderal Mongol, walaupun bengis di medan pertempuran, terkenal sangat mencintai ilmu pengetahuan.Respeknya tinggi untuk kaum sarjana.Samarkand--kota kekuasaannya di Asia Tengah--menjadi tempat berkumpulnya para intelektual dari penjuru dunia.
Maka Ibnu Khaldun diperlakukannya dengan penuh hormat. Dalam surat- suratnya, Timur kerap bertanya perihal keadaan dan sejarah negeri Islam di Maghribiyah dan Andalusia. Penyusun Kitab al-`Ibar itu pun menjawab dengan detail. Sang raja selalu puas membaca penuturannya.
Adanya korespondensi ini membuat suasana hati Timur lega. Damaskus akhirnya jatuh ke tangan raja Muslim- Mongol itu, tetapi seluruh warga setempat dibebaskannya.
Timur sesungguhnya ingin menjadikan Ibnu Khaldun sebagai penasihatnya. Namun, sang ilmuwan menolak dengan halus. Sesudah itu, ia kembali ke Kairo.