Selasa 25 Oct 2022 22:15 WIB

Saladin, Simbol Hormat Dunia Barat Terhadap Sultan Shalahuddin

Shalahuddin adalah seorang pejuang, jenderal, dan sultan yang hebat.

Salahuddin al-Ayubi atau Saladin (ilustrasi).
Foto: Wikipedia.org
Salahuddin al-Ayubi atau Saladin (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID, Tumbuh di Baalbek (kota yang terletak di Lembah Bekaa, sekarang bagian dari Lebanon) sebagai anak seorang gubernur, Shalahuddin al-Ayyubi mewarisi kepemim pinan ayahnya, Najmuddin Ayyub, serta memperoleh pendidikan pertama darinya. Adapun pendidikan kemiliteran ia peroleh dan ia pelajari dari pamannya, Asaduddin Syirkuh, seorang jenderal yang menjadi komandan angkatan perang.

Keduanya merupakan pembantu dekat Raja Suriah, Nuruddin Mahmud. Sepanjang hidupnya, Shalahuddin dikenal sebagai seorang Muslim Kurdi yang berhasil menyatukan Mesir, Suriah, dan Mesopotamia (Irak). Sifatnya yang kesatria dan pemaaf saat berperang dengan tentara Salib membuatnya dikenal di kalangan Muslim maupun Kristen.

Baca Juga

Shalahuddin adalah seorang pejuang, jenderal, dan sultan yang hebat. Roy Jackson (2006) dalam Fifty Key Figures in Islam mengatakan, sang jenderal dihormati di dunia Barat dan merupakan salah satu dari sedikit pemimpin Muslim dalam sejarah yang memperoleh nama Barat (kebarat-baratan), Saladin. Selain sebagai pejuang, dunia mengenalnya pula sebagai ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadis Abu Dawud.

Shalahuddin al-Ayyubi lahir di Tikrit (sekarang bagian dari Irak, 140 km barat laut Kota Baghdad) pada 532 H (1138 M), sekitar 40 tahun sejak kaum Salib menduduki Baitul Maqdis. Sepuluh tahun lamanya Shalahuddin kecil menuntut ilmu di Damaskus. Ia belajar di lingkungan keluarga Dinasti Zangid yang kala itu memerintah Suriah, salah satunya kepada Nuruddin Zangi.

Pada 549 H (1154 M), panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut dan menguasai Damaskus. Shalahuddin yang kala itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada 558 H (1163 M), panglima Asa suddin membawa serta Shalahuddin untuk menundukkan Daulah Fatimiyyah di Mesir yang kala itu kondisinya semakin lemah.

Upaya itu berhasil. Khalifah Daulah Fatimiyyah terakhir, Adhid Lidinillah, dipaksa menandatangani perjanjian. Shalahuddin kala itu berusia 25 tahun. Sepeninggal sang paman enam tahun kemudian (1169 M), oleh Raja Nuruddin Mahmud, Salahuddin diangkat menjadi perdana menteri Mesir.

Ia memimpin pasukan oposisi Islam untuk menghadapi kaum Frank dan tentara Salib Eropa lainnya di Levant. Pada puncak kekuasaannya, ia memerintah wilayah yang sangat luas, meliputi Mesir, Suriah, Mesopotamia (kawasan yang mencakup wilayah Irak, Turki, dan Iran), Hijaz dan sebagian Yaman, serta mendirikan Dinasti Ayyubiyah di wilayah-wilayah tersebut. Ia memimpin umat Islam melawan tentara Salib dan berhasil merebut kembali Palestina dari Kerajaan Yerusalem setelah memenangi Pertempuran Hattin.

Shalahuddin adalah seorang Muslim Sunni yang kemuliaan perilakunya dicatat oleh para penulis sejarah Kristen. Salah satu catatan terpenting tentangnya adalah kisah pengepungan Kerak di Moab yang menghadiahinya penyerahan Yerusalem pada umat Islam. Meski menjadi musuh besar para tentara Salib, Shalahuddin mendapatkan rasa hormat dari sejumlah besar mereka, termasuk dari Raja Inggris Richard “The Lion Heart”.

Ia juga menjadi lambang kekuatan Muslim. Aktivis non-Muslim asal Inggris, Palden Jenkins (2011), dalam sebuah artikel berjudul Salah ad- Din(dalam situs palden.co.uk) menguraikan sejumlah pelajaran yang dapat diambil dari kehebatan sepak terjang Shalahuddin al- Ayyubi di medan perang. Ia mengakhiri tulisannya dengan mengatakan bahwa kekuatan dan strategi Shalahuddin adalah salah satu gambaran kehebatan Islam dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Banyak buku ditulis tentangnya, termasuk oleh orang-orang non Muslim. Di antaranya, Sa- ladin: Noble Prince of Islam(Diane Stanley, 2002), Saladin: The Muslim Warrior who Defended His People(Flora Gever, 2006), Saladin, Hero of Islam (Geoffrey Hindley, 2010), Saladin and the Fall of the Kingdom of Jerussalem (Stanley Lane-Poole, 1978), Saladin: Sultan of Egypt and Syria(Richard Worth, 2007), dan Saladin: Empire and Holy War (Peter Gubser, 2010). 

sumber : Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement