IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- DPR bersama Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya memutuskan Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1444 H/2023 sebesar Rp 90.050.637,26, Rabu (15/2/2023) malam. Dalam pembagiannya, jamaah diwajibkan membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) Rp 49.812.700,26 atau sebesar 55,3 persen.
Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengapresiasi kejelian panitia kerja (Panja) Komisi VIII DPR RI yang melakukan koreksi terhadap besaran BPIH. Langkah uni disebut dapat menekan biaya penerbangan, masyair dan konsumsi.
"Namun BPIH yang telah diputuskan di Komisi VIII DPR RI ini perlu juga diwaspadai. Jika dicermati lebih seksama, keputusan di DPR tadi malam sesungguhnya merupakan keputusan yang berorientasi jangka pendek semata dan bercampur muatan politis," ujar dia dalam pesan yang diterima Republika, Kamis (16/2/2023).
Tadi malam, diumumkan nilai manfaat pengelolaan keuangan haji dari BPKH yang digunakan untuk per-jamaah rata-rata sebesar Rp 40.237.937 atau sebesar 44.7 persen. Dengan begitu, total biaya subsidi yang digelontorkan dari nilai manfaat mencapai Rp 8.090.360.327.213,67.
Keputusan tersebut diakui berpihak kepada 202 ribu jamaah haji regular yang berangkat pada 2023 ini, dengan menekan biaya sedemikian rupa sehingga biaya pelunasan yang nantinya bebannya bisa diperkecil dibanding konsep dari Kemenag.
Bahkan, untuk jamaah haji lunas tunda 2020 sebanyak 84 ribu orang dibebaskan dari biaya pelunasan, karena mengacu pada biaya haji tahun tersebut. Biaya haji lunas tunda tahun 1444 H/2022 M diberi tambahan biaya pelunasan Rp 9,4 juta, sementara untuk pelunasan jamaah di tahun 2023 sebesar Rp 23, 5juta.
Namun dari angka ini, Mustolih menyebut nilai manfaat 5,2 juta jamaah haji tunggu yang seharusnya menjadi hak mereka, diambil lebih dahulu untuk menambal biaya jamaah haji pada tahun ini, sebesar kurang lebih Rp. 8 triliun (80 persen). Dengan skema ini, seolah-olah biayanya murah dengan bantuan subsidi biaya berkisar Rp 40.237.937 per-jamaah.
"Bandingkan dengan jamaah haji tunggu yang jumlahnya 5,2 juta, hanya diberikan imbal hasil rata-rata Rp. 2 trilyun (20 persen) yang disalurkan melalui virtual account (VA). Jika dibreakdown nilainya Rp 350 ribu per-jamaah per tahun," lanjut dia.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini juga menyebut subsidi semacam ini sejatinya tidak memiliki landasan hukum. Jika merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UUPKH), pengelolaan dana haji oleh BPKH harus menggunakan sistem syariah yakni menggunakan akad wakalah. Dengan demikian, setoran pokok maupun hasil kelolaannya merupaka hak dari jamaah itu sendiri (shohibul maal).
Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Pengelolaan Keuangan Salinan Tahun 2014 Tentang Haji. Dipertegas kembali oleh Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV Tahun 2012 dan Fatwa DSN MUI Nomor 122/DSN-MUI/DSN/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH dan BPIH Khusus Berdasarkan Prinsip Syariah.
"Subsidi dan tambal sulam yang dilakukan Komisi VIII DPR RI sesungguhnya mengadopsi skema pozi (ponzi scheme). Konsep yang digagas oleh Charles Ponzi pebisnis asal Amerika Serikat, yang mana jamaah haji yang lebih dahulu berangkat dibiayai dari uang jamaah yang masih menunggu antrian," katanya.
Tentu saja yang untung adalah jamaah haji yang lebih dahulu berangkat, mereka yang puluhan tahun antri nasibnya terancam ‘buntung’ karena tidak mendapatkan subsidi sebab dananya sudah dikuras dan terpakai lebih dahulu apalagi ada bayang-bayang ancaman inflasi, krisis global, liberalisasi kebijakan haji dan kenaikan pajak di Arab Saudi dan sebagainya.
Mustolih juga mengingatkan akan keberlangsungan nilai manfaat dana haji yang terancam habis. Setidaknya, dana ini hanya mampu bertahan sampai 2026 atau 2027, sebagaimana yang disimulasikan Badan Pengelola keuangan Haji (BPKH) dan dipaparkan di depan Komisi VIII DPR RI.
Keuangan haji yang dikelola BPKH bisa kolaps hanya beberapa tahun ke depan, karena skema infestasi yang didapat selama ini hanya bergerak dikisaran 6 - 7,5 persen per tahun. Tapi, ia menyebut DPR justru tetap memilih melanggengkan dan mempertahankan skema ponzi.
Seharusnya, DPR dan para pemangku kebijakan belajar pada praktik skema ponzi yang pernah digunakan dalam sistem keuangan beberapa travel umrah bermasalah, seperti First Travel dan Abu Tour. Sistem subsidi antar jamaah tidak bisa bertahan lama, yang akhirnya membuat perusahaan itu ambruk.
"Akhirnya mereka tumbang dan ratusan ribu jamaahnya menjerit karena gagal berangkat. Pada akhirnya, pimpinan travel tersebut dihukum masuk bui sampai puluhan tahun. Pengelolaan dana haji tidak boleh seperti itu," tutur dia.
Terakhir, Mustolih menyampaikan konsep BPIH 70 persen biaya dipikul jamaah (Bipih) dan 30 persen pembiayaan dari nilai manfaat yang diusulkan Kemenag harusnya yang digunakan DPR. Hal ini merupakan konsep yang ideal berimbang, berkeadilan dan proporsional, untuk melindungi hak haji tunggu dan keberlanjutan dana haji.
Hal ini juga sebenarnya diakui oleh Ketua Panja Komisi VIII, sehingga dana haji memiliki nafas panjang. Tetapi, Mustolih menilai Komisi VIII sayangnya mengambil jalan pintas untuk menyenangkan jamaah haji yang berangkat.
Padahal, disaat yang sama kebijakan ini akan menjadi bom waktu yang dalam beberapa tahun ke depan, cepat atau lambat akan meledak dan merepotkan hingga merugikan semua pihak khususnya 5,2 juta jamaah haji tunggu. Ia pun menekankan skema ponzi dana haji harus segera diakhiri dan dijauhkan dari politisasi.
Sebelumnya, Komisi VIII DPR RI telah resmi menetapkan Biaya Perjalanan Haji (Bipih) Tahun 2023 menjadi Rp. 48,8 Juta dari Rp. 69 Juta yang ditetapkan oleh Kementerian agama.
Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi menyampaikan bahwa ini sebagai ikhtiar yang maksimal yang sudah dilakukan oleh Komisi VIII sebagai bentuk pemihakan DPR RI kepada Umat Islam.
Ia menilai keputusan ini bisa jadi tidak dapat memuaskan semua orang. Namun, ia meyakini bahwa keputusan tersebut telah menjunjung tinggi berkelanjutan, keadilan dan keterjangkauan.
Ketua Panja BPIH DPR Marwan Dasopang memaparkan nilai manfaat keuangan haji yang dimanfaatkan untuk tahun ini bersumber dari nilai manfaat keuangan haji tahun berjalan, rekening virtual jamah tahun berjalan, serta saldo akumulasi nilai manfaat keuangan haji.
"Jumlah lama tinggal jamaah di Saudi 40 hari, jumlah makan di Madinah 18 kali dan Makkah 44 kali. Menu yang disajikan bercita rasa Nusantara, dengan bahan baku dan pekerjanya dari Indonesia," kata dia.
Adapun untuk uang saku atau living cost jamaah, Petugas Haji Daerah (PHD) dan KBIHU akan dikembalikan dalam mata uang rupiah. Biaya perjalanan untuk PHD dan pembimbing KBIHU tidak mendapat dukungan dari nilai manfaat.
Ia menilai keputusan ini bisa jadi tidak dapat memuaskan semua orang. Namun, ia meyakini bahwa keputusan tersebut telah menjunjung tinggi berkelanjutan, keadilan dan keterjangkauan.