REPUBLIKA.CO.ID, Meski sudah diberi penjelasan berkali-kali mengenai rukun haji yang benar, jamaah haji Indonesia kadang memang masih suka ‘seenaknya’ saja.
Seringnya, jamaah ini melakukan kegiatan ibadah yang salah bukan karena didasari keinginan untuk melecehkan agama, melainkan justru karena kenaifannya.
Naib Amirulhaj KH Hasyim Muzadi menceritakan salah contoh kelakuan orang awam yang bandel ini. Saya pernah mengenal seseorang yang sewaktu di kampung dikenal sebagai lelaki yang memiliki fisik kuat.
Suatu waktu saya berhaji bareng dengan dia. Karena fisiknya kuat, maka ketika tawaf kami menjadi terpisah karena dia berjalan lebih cepat, tutur Kiai Hasyim—sapaan akrab KH Hasyim Muzadi seperti diceritakan Media Center haji di Kantor Daerah Kerja Misi Haji Indonesia Makkah, Kamis (18/11).
Selama tawaf tujuh kali putaran tersebut, Kiai Hasyim hanya beberapa putaran bersama laki-laki itu. Setelah itu, jarak antara mereka pun makin menjauh karena dia berjalan lebih cepat.
Namun, saat melakukan sai setelah menjalani beberapa perjalanan pulang pergi antara Shafa dan Marwah, Kiai Hasyim kembali berjumpa dengan orang tersebut. Namun, seseorang yang di kampung dikenal sebagai lelaki dengan fisik yang kuat, kali ini kondisinya cukup memprihatinkan.
Keringatnya bercucuran di sekujur badan dan napasnya juga turun naik terengah-engah. Karena penasaran, saya pun bertanya padanya, apakah gerangan yang menimpanya? tutur Kiai Hasyim.
Awalnya, laki-laki dari kampungnya itu menjawab tidak ada apa-apa. "Tidak apa-apa Kiai, saya sehat-sehat saja. Saya bahkan sudah selesai tawaf dan sai, jawab lelaki ini sambil berusaha mengatur napasnya."
"Oh ya, baguslah kalau begitu. Tapi, ngomong-ngomong, berapa kali kamu tawaf?" tanya Kiai Hasyim lembut.
"Tujuh kali putaran Kiai," jawabnya.
"Terus sainya?"
"Tujuh kali bolak-balik pulang pergi, Kiai," jawabnya bangga.
"Lho, kok? Kiai Hashim pun menjadi heran. Mengapa begitu? Kan aturannya tujuh kali tidak dihitung sekali setiap perjalanan dari Shafa ke Marwah atau sekali dari Marwah ke Shafa. Bukan tujuh kali pulang pergi (PP)! Memangnya trayek bus apa, kok pake PP?" cecar Kiai Hasyim.
Tapi, laki-laki ini tetap santai saja. Tidak merasa keliru atau bersalah. "Tidak apa-apa Kiai, biar tuntas. Kan paling-paling kesempatan saya ke Tanah Suci ini merupakan kesempatan pertama dan terakhir. Jadi, tidak apa-apa sai tujuh kali PP. Biar afdal! jawabnya enteng."
Demikian kisah salah seorang jamaah haji Indonesia. Mungkin karena tingkat pendidikannya atau keawamannya dalam hal agama, seorang jamaah kadang melebih-lebihkan sesuatu yang tidak semestinya. Padahal, ibadah itu ada ketentuannya, tidak boleh dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangkan.
Seperti hal sai, tawaf juga dilakukan sebanyak tujuh kali putaran dengan rukun Hajar Aswad sebagai patokan. Tidak boleh dilebihkan menjadi 10 putaran atau dikurangkan menjadi 3 putaran.
Demikian juga waktu lempar jumrah, batu yang dilontarkan ke jumrah Aqabah, Ula, dan Wustha juga hanya tujuh lemparan. Tidak boleh karena demi afdalnya, batu yang dilontarkan ditambah menjadi 15 butir batu misalnya. Atau batu yang dilontarkan tidak hanya sebesar kerikil, tapi sebesar kepalan tangan.




