Sabtu 13 Sep 2014 17:00 WIB

Berhaji dengan Utang

Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: Antara/Kuwadi/ca
Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Diasuh oleh: Ustaz HM Rizal Fadillah

Assalamualaikum wr.wb.

Ustaz, bolehkah menunaikan ibadah haji dengan meminjam uang? Bolehkah seorang Muslim meninggalkan utang saat akan berhaji? Sahkah hajinya?

Ahmad-Jakarta

Waalaikumussalam wr.wb.

Ibadah haji dasarnya merupakan kemampuan sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Ali Imran 97, “Wa lillahi ‘alan naasi hijjul baiti manistathoo’a ilaihi sabiila” (dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah).

Kemampuan itu macam-macam; ada kemampuan uang, kemampuan waktu, tenaga, kesehatan, ataupun kemampuan lainnya. Sekarang bahkan dapat ditambah dengan kemampuan memenuhi kuota keberangkatan. Karena tidak sedikit calon jamaah yang sudah memiliki kemampuan semua, terhalang keberangkatannya disebabkan porsi keberangkatan belum memenuhi kuota keberangkatan saat ini.

Ibadah haji jelas merupakan kewajiban karena masuk kategori rukun Islam. Namun, mengingat ibadah ini relatif lebih berat maka Allah SWT menegaskan kalimat istithoo’ah tersebut.

Khusus berkaitan dengan kemampuan keuangan, bagi mereka yang memang benar-benar tidak memiliki harta atau uang untuk berangkat haji maka kewajibannya menjadi gugur. Persoalannya, yakni bagaimana jika orang yang sebenarnya tidak mempunyai atau tidak cukup  uang itu bertekad kuat ingin menunaikan haji dengan jalan meminjam uang terlebih dahulu? Terhadap hal ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, jika memang ia memaksakan diri sehingga mengakibatkan utangnya itu memberatkan keluarga yang ditinggalkan atau mengganggu pikiran selama beribadah atau tidak jelas bagaimana akan mengembalikan pinjaman tersebut, ia berhaji dalam langkah yang memudharatkan.

Maka menunaikan suatu kewajiban dengan merusak kewajiban lainnya termasuk perbuatan yang dilarang atau diharamkan. Inilah makna sabda Rosulullah SAW ketika ditanya oleh sahabat Abdullah bin Abi Aufa. “Aku bertanya kepada Nabi SAW berkenaan seorang lelaki yang belum menunaikan haji apakah boleh ia meminjam uang? Nabi SAW menjawab “Tidak”—HR Baihaqi.

Syekh Utsamain berkata, “Saya tidak sependapat jika ia berhutang untuk berhaji karena haji dalam keadaan ini tidak diwajibkan atasnya. Semestinya ia menerima keringanan Allah dan keluasan rahmat-Nya, tidak membebani diri dengan utang yang ia tidak tahu bisa membayarnya atau tidak, mungkin ia meninggal sebelum membayar sehingga tersisa utang tersebut dalam tanggungannya.” (Majmu’Fatawa-Ibnu Utsamain 21/93).

Kedua, bisa saja ia dikategorikan orang yang mampu, hanya saja kemampuan tersebut tertangguhkan atau memerlukan waktu. Maka dengan pinjaman, kini ia menjadi “mampu” dan ia telah berhitung akan mampu melunasi utang tersebut serta tidak memudharatkan keluarga dengan keberangkatan hajinya maka hal itu dibolehkan.

Dr Abdul Karim Abdullah al-Khudhair berpendapat bahwa jika ia berharap mampu untuk melunasi utang tersebut dan menurut dugaan kuat ia mampu untuk melunasinya, insya Allah tidak mengapa ia berutang untuk membiayai ibadah haji.

Pertanyaan bahwa seorang muslim yang meninggalkan utang saat akan berhaji apakah dibolehkan? Tentu tergantung apakah pembayaran utang itu menjadi terpengaruh   karena hajinya. Jika ya maka menjadi tak boleh.

Jika tidak, tentu dibolehkan, seperti seorang berhaji, lalu utangnya berkaitan dengan cicilan mobil atau rumah yang masih ada tetap berjalan dengan baik dan terencana, hajinya dikategorikan tidak mengganggu dan mempersulit pembayaran hutang.

Apakah hajinya sah? Keabsahan haji tidak ditentukan oleh meninggalkan utang atau tidak. Persoalannya, yaitu mabrur atau tidak hajinya. Bisa saja hajinya sah, tapi tidak mabrur. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika seseorang menunaikan haji dengan harta yang haram atau mengendarai hewan tunggangan hasil rampasan maka ia berdosa, namun hajinya tetap sah. Begitu pendapat kami dan pendapat Abu hanifah, Malik, Al Abdari, begitu juga pendapat sebagian para fuqaha.” (Al-Majmu’ 7/40).  

Di samping kondisi sebagaimana diterangkan di atas, juga sah tidak haji itu sebenarnya ditentukan oleh dijalankan atau tidaknya  rukun-rukun haji, yaitu niat ihram, wukuf di Arafah, thawaf ifadhah, sai, tahalul, dan tertib (mencukur/menggunduli atau memendekkan rambut). Salah satu dari rukun haji tidak dijalankan maka hajinya tidak sah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement