Senin 15 Sep 2014 18:37 WIB

6 Hal yang Perlu Diperhatikan Soal Badal Haji

   Jamaah haji menunaikan shalat Dzuhur berjamaah saat melaksanakan ibadah wukuf di Arafah, Senin (14/10).  (AP/Amr Nabil)
Jamaah haji menunaikan shalat Dzuhur berjamaah saat melaksanakan ibadah wukuf di Arafah, Senin (14/10). (AP/Amr Nabil)

REPUBLIKA.CO.ID,  Assalamualaikum Wr Wb,

Ustaz apa sebenarnya yang dimaksud badal haji itu? Apakah ajaran Islam membolehkannya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan?

Hamba Allah

Bandung, Jawa Barat

  

Jawab:

Waalaikumussalam Wr Wb

Badal artinya “menggantikan” maknanya adalah seseorang yang menggantikan haji dari orang yang seharusnya menunaikan ibadah haji disebabkan oleh faktor halangan, usia lanjut atau telah meninggal dunia.

Badal haji sering menjadi bahan perdebatan, masuk dalam kategori khilafiyah antara yang membolehkan dan yang tidak. Masing masing beragumen pada dalil masing-masing. Para ulama yang tidak membolehkan berangkat dari dasar fikiran dan nash bahwa seseorang tidak bisa menggantikan amal orang lain, tanggungjawab itu bersifat pribadi.

Kalau orang yang tidak bisa haji karena berbagai faktor maka itu artinya ia memang tidak istithoah maka ia terbebas dari kewajibannya. Bagi kelompok yang berpendapat seperti ini jika ada hadits pun yang sanad nya shahih tentang adanya badal haji, namun dari sisi matan maka hadits tersebut masih perlu dipertanyakan.

Dalil pokok dan ayat-ayat yang sejenis, yaitu : “(Yaitu) bahwasanya tidak memikul tanggungjawab perbuatan orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang diusahakannya” (QS An Najm 38-39). Begitu juga dengan hadits putus amal orang meninggal kecuali shadaqah, ilmu, dan doa anak sholih “illa min shadaqotin jaariyatin aw ilmin yunfa’u bihi aw waladin shoolihin yad’uu lahu” (HR Muslim, Nasaa’i, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).

Bagi yang membolehkan bersandar pada hadits-hadits yang meriwatkan peristiwa peristiwa yang terjadi, seperti anak yang menghajikan orang tua yang sudah tua renta di mana Rosulullah SAW bersabda “fahujji anhu” (maka hajikanlah dia olehmu)". (HR Muslim). 

Lalu ada pula orang yang menghajikan saudara atau kerabatnya yang bernama Syubrumah, Rasul bertanya apakah ia sudah haji dan ketika jawabannya belum, maka Nabi bersabda “Berhajilah untuk dirimu, kemudian hajikan Subromah” (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Bani dan Al A’zami. Al Baihaqi mengatakan tidak ada yang lebih shahih dalam bab ini daripada hadits ini).

Dalam mendelegasikan ibadah haji (al istinaabah fiel hajj) hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

Pertama, yang menghajikan harus sudah haji. Kedua, niat untuk membadali harus untuk orang yang dibadali sebagaimana niat “Labbaika ‘an Syubrumah”.

Ketiga, diniatkan untuk membayar utang bukan menggantikan amal. Keempat, seseorang hanya dapat membadali untuk satu orang, karena ihram itu untuk sekali haji dan menyebut nama satu orang. Kelima, pelaksanaan badal oleh naib (anak atau saudara) harus sukarela bukan terpaksa. Keenam, biaya badal haji dari kekayaan orang yang membadali, kecuali anak atau saudara sukarela membiayai.

Yang perlu diperhatikan bersama adalah komersialisasi badal haji, suatu hal yang sesungguhnya terlarang. Banyak yang berangkat haji mencari-cari orang yang mau membadalkan haji kepadanya, sehingga yang awalnya tak terfikirkan oleh seseorang, karena bujuk rayunya, maka akhirnya ia pun mempercayakan orang itu untuk membadalkan orangtua atau kerabatnya.

Ternyata sudah banyak yang terdaftar dibadalkan melaluinya. Sang kolektor melakukan sendiri atau membagikan lagi kepada anggota timnya.

Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’at al Fatawa” menyoroti hal ini dengan menyatakan: ”Hendaknya seseorang mencari uang untuk berangkat haji, bukan berangkat haji untuk mencari uang. Barangsiapa berhaji untuk mencari uang, maka tidak ada bagian di hari kiamat nanti”.

Wallahu a’lam bissawab. 

Ustaz HM Rizal Fadillah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement