Sabtu 20 Sep 2014 07:25 WIB

Berangkat Haji Tanpa Suami

Jamaah calon haji wanita.
Foto: Republika/Tahta Aidilla/ca
Jamaah calon haji wanita.

Diasuh oleh: Ustaz HM Rizal Fadillah

Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, bolehkah seorang istri menunaikan haji tanpa suami atau mahramnya? Bagaimana

hukumnya secara fikih?   

Nidia – Bekasi

Waalaikumussalam wr wb.

Dalil pokok seorang istri menunaikan haji tanpa suami atau mahramnya adalah tidak boleh berdasarkan hadis Nabi dari Ibnu Umar: “Haram atas wanita Islam yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan bepergian sendiri tanpa laki-laki mahramnya selama perjalanan tiga malam” (HR Muslim).

Demikian juga hadis lain dari Ibnu Abbas: “Jangan seorang wanita bersafar, melainkan ia bersafar bersama mahramnya” (HR Bukhari-Muslim).

Seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji dan aku berkewajiban untuk berperang ini dan itu.” Maka, Nabi SAW bersabda, “Pergi hajilah bersama istrimu” (HR Bukhari-Muslim).

Akan tetapi, ternyata dalam praktiknya para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Hal ini dikaitkan dengan memaknai kata istitho’ah sebagai syarat untuk berhaji. Seorang wanita menjadi wajib menunaikan ibadah haji jika ia istitho’ah atau mampu, salah satu kemampuan itu adalah adanya mahram.

Ulama Hanafiyah dan Hambali bersikukuh pada hadis-hadis di atas sebagai sandaran ketidakbolehan seorang wanita berangkat haji tanpa mahram. Ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah lebih berpendapat membolehkan asal ada kondisi yang memungkinkan.

Mahram tersebut bukan tiada, melainkan diganti. Ulama Syafi’iyah menyatakan, jika ada para wanita yang tsiqah dua atau lebih yang memberikan rasa aman, maka hal itu cukup sebagai pengganti mahram atau suami.

Pandangannya adalah “yang paling tepat tidak disyaratkan adanya mahram bagi para wanita tersebut. Sudah cukup sebenarnya jika sudah ada jamaah yang jumlahnya banyak”. Ulama Malikiyah pada prinsipnya membolehkan dan mengatakan, “Jika mereka tidak menemukan mahram atau pasangan (suami yang menemani), maka ia boleh bersafar untuk haji wajib selama berada bersama sama dengan orang-orang (wanita atau pria) yang memberikan rasa aman.”

Ibnu Thaimiyah, juga Ibnu Muflih, menyatakan, “Seorang wanita bisa melakukan haji tanpa mahram selama dia aman.”  Al-Athram menyampaikan bahwa Imam Ahmad berkata, “Memiliki mahram bukan merupakan syarat untuk haji yang wajib, ini adalah karena seorang perempuan dapat pergi haji bersama perempuan lain dan juga dengan siapa pun yang memberi rasa aman.” Ibnu Sirin menyatakan, “Ia harus pergi dengan Muslim yang baik.”

Imam Bukhari dalam kitab sahihnya menyatakan bahwa Umar RA memberi izin kepada istri-istri Nabi SAW untuk melakukan ibadah haji. Dia mengirim Utsman Bin Affan dan Abdurrahman untuk menemani mereka.

Mereka yang membolehkan pergi haji tanpa mahram juga bersandarkan pada hadis Nabi dari Adiy Ibn Hatim “… kamu pasti akan melihat bahwa seorang wanita akan berjalan dari Hira menuju Makkah tanpa suaminya selain dia takut hanya kepada Allah....” (HR Bukhari-Muslim).

Terhadap haji yang sunah, maka ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan atau terlarangnya wanita atau istri pergi menunaikan ibadah haji tanpa didampingi suami atau mahramnya.     

Demikian hukum fikih berkaitan wanita berangkat menunaikan ibadah haji (yang wajib) dan status mahram. Faktanya adalah terjadi perbedaan pendapat. Karenanya, maka bagi kita yang ada pada saat ini, tentu memiliki kebebasan untuk mengambil pandangan yang menurut kita paling benar dan diyakini dasar-dasar pikirannya.

Jika mampu berangkat bersama mahram, maka itu adalah yang paling tepat. Akan tetapi, jika upaya maksimal seorang istri yang ingin berangkat bersama mahramnya tidak berhasil, maka fikih masih memberi ruang kepadanya. Wallahu a’lam bishawab.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement