REPUBLIKA.CO.ID, Seiring bertambahnya waktu, populasi kaum Muslimin di Madinah bertambah banyak. Hal ini tentu berdampak pada kapasitas Masjid Nabawi yang tidak cukup menampung jamaah shalat.
Di sisi lain, fondasi Masjid Nabawi juga terlihat semakin rapuh. Karena itu, Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 29 Hijriyah memutuskan untuk memperluas Masjid Nabawi dan merenovasi bangunannya.
Khalifah Utsman pun membeli tanah dan bangunan yang ada di sekeliling Masjid Nabawi, tetapi hanya sisi utara, selatan, dan barat, sedangkan sisi timur dibiarkan karena ada rumah para istri Rasulullah.
Drs Ikhwan M.Ag dan Drs Abdul Halim M.Ag dalam Ensiklopedi Haji dan Umrah mengatakan, pada masa ini, pembangunan Masjid Nabawi dilakukan dengan lebih baik lagi. “Batu yang digunakan tidak lagi batu seadanya, tetapi bebatuan yang sudah dipahat, diukir, dan ditata sedemikian rupa, ditambah lagi dengan kapur batu.”
Tiang-tiangnya juga menggunakan batu yang dijejali paku dan besi sehingga lebih kuat. Sementara itu, atap masjid menggunakan kayu-kayu berkualitas yang disangga oleh tiang-tiang kukuh.
Setelah perluasan yang dilakukan oleh Utsman, luas masjid menjadi 4.071 meter persegi, bertambah 496 meter persegi dari luas sebelumnya. Tinggi masjid tetap 5,5 meter, sedangkan serambinya bertambah satu menjadi tujuh.
Pintu masjid tetap ada enam, sedangkan tiangnya berjumlah 55 buah. Bagian dalam masjid tetap terkumpul menjadi satu bagian.
Untuk pertama kalinya, di bagian mihrab dibangun semacam mimbar untuk menaungi imam. Mimbar itu memiliki lubang-lubang sehingga para jamaah tetap dapat melihat imam. Untuk menerangi masjid pada malam hari, khalifah Utsman menyiapkan lampu-lampu minyak yang disebar di beberapa sudut masjid.