Selasa 02 Aug 2016 15:38 WIB

Pemerintah Kolonial Batasi Keberangkatan Haji

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semakin meningkatnya jamaah haji dari kepulauan Nusantara membuat pemerintahan kolonial Belanda ingin membatasi perjalanan haji di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu mengeluarkan Rosolutie pada 1825 untuk memberlakukan pas jalan, seperti paspor dengan tarif 110 Gulden.

Tarif paspor ini jelas sangat mahal karena setara dengan ongkos perjalanan Padang-Jeddah ketika itu. Para calon haji yang tidak membeli pas jalan akan dikenakan denda 1.000 Gulden. Untuk menghindarkan diri dari peraturan tersebut, para calon jemaah haji memilih berangkat haji dari Singapura dengan diantar oleh kapal yang diatur oleh Syekh.

Karena dendat tersebut dianggap terlalu tinggi dan tidak ada orang yang mampu membayarnya, maka peraturan tersebut pada 1831 diubah oleh pemerintah Belanda. Denda dikurangi menjadi dua kali harga pas jalan, yaitu 220 Gulden. Peraturan ini diterapkan secara umum, tetapi tidak diumumkan secara resmi dalam Staatsblad (lembaran negara pada masa Hindia Belanda).

Peraturan itu hanya diberlakukan di Jawa dan Madura, karena dalam praktiknya di luar daerah belum semuanya berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada saat itu. Untuk menghindari biaya pas jalan yang tinggi, banyak jemaah haji Indonesia meminta pas jalan ke Singapura, Malaysia bahkan hingga India.

Pengarang Syekh Abdul Kadir Munsyi menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kapal sewaan Singapura bernama Subulussalam milik Syekh Abdul Karim pada 1854. Lalu pada 1858, masyarakat Betawi membeli sebuah kapal dengan daya angkut 400 orang. Ini mengakibatkan biaya haji sedikit bisa ditekan lebih murah pada saat itu.

Namun ditengah pembatasan itu, sepanjang 1853-1859, jumlah jemaah haji dari Nusantara tercatat terus meningkat dari 100 menjadi 3.000 orang setiap tahun. Pada 1872, untuk pertama kalinya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Konsulat di Jeddah. Tujuannya bukan untuk membantu memudahkan urusan jemaah haji dari Indonesia namun mengawasi secara ketat pergerakan jemaah haji.

Hal ini dikarenakan Belanda khawatir jemaah haji dari Nusantara akan menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah dengan label haji tersebut. Sehingga mereka dikhawatirkan mengganggu ketertiban dan ketentraman pemerintah colonial Belanda ketika kembali ke tanah air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement