Kamis 04 Aug 2016 07:00 WIB

Pergi ke Tanah Suci dengan Kapal Warisan Nazi

Jamaah haji shalat di atas Kapal. Foto ini diambil pada tahun 1950.
Foto: Arsip Nasional RI
Jamaah haji shalat di atas Kapal. Foto ini diambil pada tahun 1950.

Oleh Ahmad Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak seperti kebanyakan jamaah haji asal Betawi, Masenah tidak perlu menjual tanah untuk pergi ke Tanah Suci. Nenek yang hingga kini masih setia menjaga warung kelontong itu merupakan salah satu bandar emping melinjo terbesar di Condet. Dia mengumpulkan pundi-pundi dari berjualan emping di Pasar Senen. “Dulu ninjo (melinjo) masih murah. Terus kita bikin jadi emping buat dijual ke Senen,”kata dia kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (3/8). 

Sukses dengan bisnis emping, Masenah dan suami memutuskan untuk pergi ke Tanah Suci menunaikan rukun Islam kelima. Dia pun merogoh simpanannya untuk membayar ongkos senilai Rp 640 ribu per orang. Meski sudah ada pesawat, dia mengungkapkan, harga ongkos haji kapal jauh lebih murah. Ketika itu, Masenah mengaku, mereka merupakan satu-satunya pasangan calon haji yang berangkat dari Kelurahan Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Masenah masih ingat betul hari pertama dia menginjakkan kaki di Kapal Gunung Djati pada tahun 60-an. Pada hari kelima Ramadhan, Masenah datang bersama suami, Muhammad Arsyad,  menuju Pelabuhan Tanjung Priok untuk naik kapal buatan Jerman itu. “Waktu itu nomor kamar kita F2. Kita dapet tempat tidur velbed,”kata nenek berusia 89 tahun itu.

Kapal Gunung Djati yang dinaiki Masenah bukan kapal sembarangan. Kapal itu merupakan jenis kapal uap yang pernah melakukan tugas militer di era Nazi selama  Perang Dunia II di Eropa sebagai kapal logistik. Setelah Jerman kalah pada sekutu, kapal ini diambil alih Inggris dan bertugas di Terusan Suez, Mesir saat konflik Timur Tengah tahun 1947-  1948.

Dulunya,  kapal ini bernama  TS Pretoria. Kapal ini sempat berganti nama menjadi HMT Empire Doon dan berubah lagi menjadi HMT Empire Well. Penamaan Gunung Djati bagi kapal tersebut, diberikan oleh perusahaan perkapalan milik Inggris, Alfred Holt & Company di Pelabuhan Liverpool, pada tahun 1958. 

Saat datang ke kapal bersejarah itu, Masenah membawa kompor minyak tanah bersama perlengkapan dapur lainnya. Perabotan seperti panci dan penggorengan menjadi daftar barang wajib yang harus dibawa Masenah. Hanya, dia tidak perlu membawa sembako. Setiap calon jamaah haji kapal laut, kata dia, akan mendapatkan beras, gula, minyak goreng hingga kopi dan teh dari pemerintah. 

Untuk lauk pauk, Masenah dan jamaah haji lainnya akan membelinya di kapal. Kata Masenah, ada semacam pasar yang menjual beraneka makanan dari telur, daging, ikan hingga sayur mayur di kapal berkapasitas 2000 penumpang itu. Ada juga pedagang makanan jadi untuk jamaah yang tidak sempat memasak. “Ikan basah mau yang mateng atau mentah ada,”kata dia. 

Untuk sampai ke Madinah, Masenah dan jamaah haji lainnya kala itu menempuh perjalanan 14 hari. Di tengah jalan, Kapal Gunung Djati akan singgah di Colombo, Sri Lanka untuk mengisi bahan bakar. Kapal bersandar di sana seharian. Kala itu, Masenah berkisah orang-orang turun dari kapal untuk membeli barang dan makanan. Ada juga yang turun untuk tujuan plesir. Hanya, Masenah dan suaminya memutuskan untuk tinggal di kapal. “Gua takut kalo turun,”kata dia. 

Masenah tiba di Madinah, Arab Saudi, setelah 14 hari perjalanan laut. Dia mengenang, perjalanan saat itu begitu cepat. Dari jamaah lain, Masenah tahu kalau kapal itu kapal istimewa. Kapal tak gentar dengan gangguan ombak besar dan badai. Buktinya, Masenah tak mengalami mabuk laut selama perjalanan.  Ketika tiba di Madinah, dia dan jamaah lainnya masih menemukan suasana Ramadhan. Masenah bahkan sempat mencicipi indahnya shalat Tarawih di Masjid Nabawi.  “Gua inget waktu Lebaran banyak petasan. Bunyi meriam dimana-mana,”tambah dia. 

Setelah menghabiskan lebih dari sebulan di Madinah untuk menjalankan ibadah ‘Arbain, Masenah kemudian pergi ke Makkah untuk menunaikan haji. Dia pun pulang menggunakan kapal yang sama dengan perjalanan 18 hari. Saat perjalanan pulang, ada jamaah yang meninggal dunia di kapal. Jenazahnya disimpan di sebuah talang khusus di lambung kapal. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement