Senin 08 Aug 2016 08:58 WIB

Haji Jadi Ajang Konsolidasi Melawan Penjajah

Jamaah haji tahun 1951 di atas Kapal Rotterdam lloyd menuju Makkah.
Foto: Gahetna.nl
Jamaah haji tahun 1951 di atas Kapal Rotterdam lloyd menuju Makkah.

 

Oleh Marniati/Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Pada abad ke-17 hingga ke-18, para alumni haji berperan besar dalam pergerakan melawan penjajahan di Bumi Pertiwi. Memasuki abad ke-19, perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dipelopori oleh ulama yang kembali dari Makkah.

Jika pun tidak, perlawanan datang dari mereka yang telah mendapat pengaruh dari para haji. Perlawanan yang dilakukan oleh kelompok Islam yang berada di luar struktur pemerintahan negara kesultanan itu digerakkan oleh simbol politik Islam.

Suminto dalam Politik Islam menerangkan, perlawanan terhadap pemerintah Belanda pada pertengahan pertama abad ke-19, seperti Perang Padri dan Perang Diponegoro, menimbulkan kesan adanya haji fanatik. Pemberontakan Mutiny atau Sepoy di India pada 1857 menambah keyakinan pemerintah Belanda akan adanya haji fanatik.

Akibat kekawatiran akan terjadinya hal yang sama, pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji pada 1859. Dengan dikeluarkankannya kebijakan yang ruwet masalah haji, diharapkan dapat membendung orang pribumi pergi haji, sehingga bisa memperkecil kemungkinan adanya haji fanatik yang akan memicu pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.

Sementara itu, Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid V menjelaskan, dari berbagai dokumen surat-menyurat antara 1881-1883 dapat diketahui bahwa pemerintah Belanda mencurigai beberapa syekh haji dan orang-orang yang bermukim di Makkah sebagai musuh berbahaya bagi pemerintah. Mereka yang menetap di Makkah dianggap memberi pengaruh besar terhadap kehidupan spiritual di Tanah Air.

Pada 1880-an, kegiatan tarekat juga mulai dicurigai oleh pemerintah kolonial Belanda. Alasannya karena kegiatan tarekat sering menimbulkan kerusuhan. Kegiatan tarekat yang menyebar di Indonesia dianggap sebagai bagian dari kebangkitan kembali Islam. Beberapa diantaranya dianggap sebagai gerakan menghidupkan kembali kesultanan Islam, terutama Kesultanan Banten.

Pengawasan terhadap kegiatan tarekat dan para pemimpinnya semakin intensif setelah terjadinya pemberontakan Banten 1888. Apalagi, pemberontakan tersebut ternyata dipelopori oleh tokoh-tokoh tarekat dan para haji.

Selain itu, dalam rangka melaksanakan politik haji, pemerintah Belanda melakukan pengawasan yang ketat terhadap Muslim yang dianggap fanatik. Terutama mereka yang dari Aceh, gerak-gerik mereka selalu diawasi.

Maklum saja pada waktu itu, orang-orang Aceh sedang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Akibatnya, pemerintah mengusulkan agar pada 1891 orang-orang Aceh tidak diperbolehkan pergi haji.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement