Sabtu 13 Aug 2016 08:57 WIB

Pramoedya, Hamka, Aidit, dan Persepsi Pejoratif Terhadap Haji

Foto mirip tokoh PKI DN Aidit di pamerkan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
Foto:
Sukarno dan DN Aidit di acara peringatan ulang tahun PKI ke-45 di Istora Senayan tahun 1964.

Bila kemudian ditelusuri, rasa risi kalangan umat Islam dan pesantren tersebut rupanya bersandar pada sepak terjang Pramoedya di masa dia menjadi tokoh penting sebuah organisasi yang berafiliasi kepada PKI, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sikap ini semakin tumbuh setelah melihat dan membaca karya Pramoedya yang cenderung bersikap apriori terhadap sosok, ajaran, atau tokoh Islam. Pameo yang lazim pada soal ini adalah dalam tulisan Pram selalu menyudutkan sosok haji atau panutan umat Islam.

Pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, DR Muhamad Supraja, dalam sebuah perbincangan beberapa waktu silam menyatakan dari kajian mengenai berbagai karya Pramoedya yang pernah dilakukannya, maka bisa menjadi dipahami bila ada ‘tudingan’ bahwa karya-karyanya cenderung sinis terhadap Islam.

‘’Pram itu seorang sastrawan penting di Indonesia. Karya-karyanya sangat kritis dan dia juga sangat tajam menyorot tentang kekuasaan. Bagaimana  yang namanya orde semenjak zaman kolonial melakukan proyek dehumanisasi dengan sangat luar biasa. Dan di sini bercerita dengan sangat bagus. Namun, ada hal yang cukup membuat saya bertanya-tanya. Misalnya ketika dia menulis mengenai sosok RA Kartini,’’ katanya

Pada bagian di dalam karya itu, terutama ketika masuk dalam soal agama, Supraja melihat bila cara pandang Pramoedya menjadi tidak sempurna atau tidak utuh di dalam melihat sisi religiusitasnya Kartini. Padahal dalam bukunya RA Kartini ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ itu religiusitas Kartini sangat terlihat dan cukup menarik untuk di telaah. Kartini dalam hal ini kan pernah melawan kekuasaan patriakhat dan dia juga  melawan feodalisme kelurga jawa. Namun di sisi lain ketika dia menerima perjodohan yang dipaksakan oleh orang tuanya dijalaninya, bahkan sampai memiliki anak.

Tapi di titik itu Kartini juga mencari sisi religiusitas.’’Nah, di titik ini,yakni ketika membahas pencarian agama Kartini, saya melihat komentar Pram (lihat buku Panggil Aku Kartini Saja) menulis dengan tidak menarik. Jadi menurut saya, di titik inilah Pram saya lihat punya perbedaan sikap. Dia bisa melihat kekuasaan dengan sangat kritis, tapi ketika melihat pada soal agama entah mengapa empatinya tidak menonjol. Kartini di buku itu terlihat sangat ‘Islamis’ dan tampak sekali Pram bersikap tidak menyetujuinya.’’

Akibatnya, Pram tidak memberikaan perhatian adanya pengakuan Kartini dalam soal religiusitas secara lengkap. Pram malah tampak memberikan intepretasinya sendiri atas kenyataan yang dialami Kartini. Dia malah lebih memilih dan banyak mengacu pada gagasan dasar sosialismenya itu. Sebab, semua juga tahu bahwa di mana-mana frame pemikiran Pram itu sangat sosialistik.

 

"Jadi saya menilai Pram pada buku ‘Panggil Aku Kartini Saja’ malah banyak mereduksi pemikiran Kartini. Dan ini bisa dimengerti sebab memang garis pemikiran sosialisme ya seperti itu, yakni mereka tidak percaya pada doktrin agama meski mereka menyatakan berpihak pada kemanusiaan. Alhasil, meski ada juga aliran pemikiran sosilisme yang religius, tapi saya kira frame Pram tidak ada di sana. Jadi wajar bila dia bersikap ‘sinis’ terhadap agama,’’ ungkap Supraja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement