Sabtu 13 Aug 2016 08:57 WIB

Pramoedya, Hamka, Aidit, dan Persepsi Pejoratif Terhadap Haji

Foto mirip tokoh PKI DN Aidit di pamerkan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
Foto:
Buya Hamka

Sikap sinis kepada agama Islam memang kentara ketika Pramoedya  memimpin rubrik ‘Lentara’, di Harian Bintang Timur tersebut. Sikap ini juga terbawa ke karya Pramoedya yang lebih kontemporer misalnya noevel 'Arus Balik'. Di karya ini sosok Islam, terutama pada masa ujung akhir Kerajaan Majapahit, dipresepsikan sebagai penyebab utama kemunduran kerajaan tersebut. Tak cukup dengan itu juga ada kesan bahwa ajaran Islam disebarkan dengan cara peperangan atau kekerasan.

Sastrawan penanda tangan Manifes Kebudayaan, Bokor Hutasuhut, dalam tulisannya ‘Gagal Membabat Total’ di Majalah Horison Agustus 2006, menyatakan sebagai pemimpin rubik ‘Lentera’ Pram secara sistematis menuduh tokoh ulama Hamka (Haji Malik Karim Amrullah) sebagai plagiator. Dengan ringan hati dia menuduh Hamka mencuri karangan orang lain, Al-Munfaluthi.

Menurut Bokor dengan Pram menuduh Hamka mencuri karangan orang lain, sekaligus juga dimaksudkan menjatuhkan martabah ulama di mata umat.

‘’Pada saat itu, Lekra/PKI melalui karya sastra giat-giatnya antara lain mengkampanyekan betapa bobroknya akhlak haji, kiai, dan sebagainya. Ini misalnya tertuang dalam naskah drama Utuy Tatang Sontani,’’ tulis Bokor.

Bukan hanya itu saja, lima bulan sebelum Gestapu PKI/Kudeta 1 Oktober, Pram mencanangkan aba-aba bahwa tahun 1965 adalah tahun pembabatan total (Bintang Timur, 9 Mei 1965).

Dan semenjak itulah, Lekra/PKI kemudian makin sering menggunakan ungkapan ‘Ibu Pertiwi Hamil Tua’. Dan dislogan partai pimpinan DN Aidit itu kemudian juga muncul istilah menyeramkan, yakni 'pembabatan total' terhadap musuh-musuh revolusi.

Uniknya, beberapa tahun kemudian --sebelum Buya Hamka wafat -- Pram sempat mengirimkan anaknya untuk belajar agama Islam kepada Hamka yang saat itu menjadi pengasuh Yayasan Masjid Al Azhar, Kebayoran. Putra Pram datang menemui Hamka dan menyatakan ingin belajar agama Islam karena akan berkeluarga. Dikisahkan alasan Pram memilih Hamka sebagai pembimbing putranya karena ia menganggap Hamka adalah sosok ulama yang mumpuni terhadap soal-soal Islam.

Hamka ketika menerima kedatangan anak Pram sempat terkejut. Apalagi dia pada awalnya tak tahu siapa tamu yang saat itu menemuinya. Dan ketika sang tamu menyebut bahwa dia adalah putra Pramoednya, Hamka pun sempat terhenyak, meski sesaat kemudian mengangguk dan tersenyum. Dan Hamka pun bersedia menerima permintaan anak muda yang saat itu menyatakan ingin agar dia menjadi gurunya.

Dan jauh sebelum itu, pada tahun 1969, ketika di Taman Ismail Marzuki digelar sebuah seminar mengenai pelarangan buku 'yang dianggap' mengandung idiologi komunis dan pada saat itu karya Pramoednya oleh pemerintah Orde Baru dinyatakan dilarang, Hamka di depan ratusan pengunjung menyatakan menolak pelarangan buku tersebut.

Pada acara diskusi itu, Buya Hamka ditanya tentang sosok dan sepak terjang Pramoedya. Pertama tentang pendapatnya mengenai pelarangan buku Pramoedya, kedua bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menghancurkan nama baiknya beberapa tahun di ruang seni-budaya Lentera/Bintang Timur yang berlanjut dengan fitnah politik berkomplot akan membunuh Presiden dan Menteri Agama, hingga masuk tahanan hampir tiga tahun lamanya.

Diberondong pertanyaan tersebut, Hamka menjawab tidak setuju adanya pelarangan buku Pramoedya. Ini karena falsafah hidupnya adalah cinta, dan untuk seluruh penggasakan terhadap nama baiknya, termasuk bila ada fitnah berkomplot tersebut,. Untuk semua soal itu, Hamka menyatakan sudah memaafkan para pihak yang selama ini terlibat.

Mendengar pernyataan tersebut, mereka yang hadir di Teater Arena TIM terdiam. Ruangan menjadi hening. Semua hadirin tak menyangka sekaligus terkesima mendengar keikhlasannya. Nah, pada saat itu juga banyak peserta seminar beruari air matanya, termasuk novelis terkemuka: Iwan Simatupang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement