Kamis 18 Aug 2016 13:53 WIB

Masa Kejayaan Pelayaran Haji PT Arafat

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Calon jamaah haji bersiap naik kapal laut di Tanjung Priok, menuju Tanah Suci pada tahun 1938.
Foto: Gahetna.nl
Calon jamaah haji bersiap naik kapal laut di Tanjung Priok, menuju Tanah Suci pada tahun 1938.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi jamaah haji yang berangkat di era 1960 hingga pertengahan 1970-an tentu tidak bisa melupakan begitu saja perjalanan haji melalui jalur kapal laut. Jamaah yang melakukan perjalanan haji menggunakan kapal laut saat itu, akan mengingat peran PT Arafat dan nama kapal haji seperti, KM Gunung Djati, Tjut Njak Dhien, Pasific Abeto, Mei Abeto, dan Le Havre Abeto.

Nama-nama kapal itu sangat tersohor dan melekat pada kenangan jamaah haji saat itu. Dahulu tidak dikenal istilah kloter. Jika jamaah haji saat itu ditanya, tahun berapa naik haji dan apa nama kapalnya. Tapi sejak 1979, nama perusahaan PT Arafat terkubur setelah Departemen Perhubungan secara resmi menutup perjalanan haji dengan kapal laut pada 1978.

Sesungguhnya manajemen PT Arafat saat itu sangat berharap bisa memberangkatkan jamaah haji lagi untuk menutupi hutangnya yang mencapai Rp 12,5 miliar. Padahal, ada ratusan bahkan ribuan jamaah haji yang masih menunggu keberangkatan melalui PT Arafat. Saat itu, PT Arafat sahamnya dimiliki sekitar 554.947 jamaah. Setiap jamaah diharuskan membeli saham Arafat sebesar Rp 50 ribu.

Di antara pemilik saham itu muncul nama H. Adam Malik (wakil presiden saat Arafat dilikuidasi) dan Jendral Besar AH. Nasution. PT Arafat saat itu berkantor di gedung bertingkat tiga di Jalan Johar, Jakarta Selatan. Perusahaan ini merupakan perusahaan besar yang bonafide serta memberikan kemewahan fasilitas di atas rata-rata. Garuda saat itu belum sebanding dengan Arafat.

Perusahaan swasta yang dimotori pemerintah ini memberangkatkan ribuan jamaah haji, sementara Garuda hanya ratusan. Waktu itu jamaah haji masih sangat asing dengan penerbangan yang tarifnya masih sangat mahal. Adalah Ketua Dewan Urusan Haji (DUHA) yang juga sekaligus Menteri Komparten Kesejahteraan Rakyat, H. Moeljadi Djojomartono pada 1964 menginstruksikan pendirian PT Arafat dengan bentuk saham umat.

Instruksi ini memenuhi aspirasi umat perbaikan perjalanan haji, terutama tidak menggunakan kapal-kapal milik penjajah Belanda yang dikenal dengan ‘Kongsi Tiga.’ Sejak Desember 1964 sampai Juni 1968 sudah tercatat setengah juta lebih jamaah haji dengan uang masuk Rp 16 Miliar. Kalau diteruskan, mungkin Arafat bisa menajdi perusahaan milik umat terbesar di dunia.

Dengan modal sebanyak itu sebenarnya Arafat bisa membeli 12 kapal. Namun terbatasnya ketersediaan kapal dunia, membuat Arafat baru bisa membeli tiga buah kapal bekas dalam tiga tahun. Yaitu buatan Belanda dan dua buah Norwegia dengan harga, Rp 7,49 Miliar.

“Sambutan umat Islam dengan lahirnya PT Arafat ini, yang merupakan hasil dari jihadyang hampir berjalan setengah abad (1921-1964) dalam bidang pelayaran, tidak lain daripada sambutan yang disesuaikan dengan tuntutnan Allah SWT dan Rasul-Nya, ialah melakukan sujud syukur ke hadirat Ilahi,” tulis tajuk rencana majalah bulanan PEHAI edisi Agustus 1964.

Sekitar 15 ribu jamaah haji pada 1964-1965 belum sempat diberangkatkan kapal-kapal Arafat, karena masih memanfaatkan kapal milik perusahaan lain seperti Pelni, Djakarta Llyod, Afan Lines dan Angkatan Laut di Halmahera. Baru pada 1965/1966 tiga kapal Arafat ikut mengangkut jamaah melalui KM. Gunung Djati, Ambulombo dan Tjut Njak Dien, serta bantuan kapal Pakistan Safinatul Hujjaj. Musim haji 1966/1967 sekitar 15 ribu jamaah haji diangkut kapal Arafat plus Tampomas milik Pelni.

Arafat tetap kokoh dengan kemampuan pelayaran. Sebab, di luar musim haji semua kapal Arafat beroperasi untuk menopang ekonomi bangsa. Bahkan ketika pemerintah melakukan denominasi rupiah pada 1966 dari Rp 1000 menjadi Rp 1, Arafat tetap kuat dan mampu menaikkan saham dari Rp 50 ribu uang lama, menjadi Rp 300 uang baru. Dan pemilik saham diwajibkan menambah setoran penyertaan Rp 200 uang baru.

Arafat berencana dalam lima tahun sudah bisa memiliki 10 buah kapal dan bisa membagi deviden. Namun kapal yang bisa dibeli Arafat hanyalah kapal tua. Bahkan KM Gunung Djati adalah kapal tua buatan 1928, veteran Perang Dunia II yang bermasalah ketika akan dioperasikan pada pemberangkatan jamaah haji. Tapi dengan monopoli angkutan haji laut ini, Arafat pernah membukukan keuntungan Rp 500 juta sampai Juni 1969.

Sumber: Haji dari Masa ke Masa, dan berbagai sumber

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement