Selasa 23 Aug 2016 10:35 WIB

Akhir Kejayaan Kapal Haji

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Kapal yang membawa calon jamaah haji ke Tanah Suci.
Kapal yang membawa calon jamaah haji ke Tanah Suci.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puncak kejayaan PT Arafah sebagai satu-satunya perusahaan pelayaran haji berangsur berakhir mulai awal 1970an. Setelah sempat medapat dukungan penuh dari pemerintah, pada awal 1970, justru saat itu pemerintah mulai mengembangkan kebijakan haji menggunakan jalur udara dengan pesawat. Seolah pemerintah sendiri yang mengebiri PT Arafat, yang sahamnya dikumpulkan dari dana umat dan jamaah haji.

Saat itu biaya perjalanan haji melalui udara mulai bersaing dengan tarif laut. Dalam perjalanannya jamaah haji yang memilih jalur laut mulai mengalami penurunan jumlah. Dan penghasilan Arafat pun mulai berkurang setiap tahun. Hutang-hutangnya pun semakin menumpuk. Sedangkan kapal-kapal tua menjadi beban pemeliharaan dan jamaah haji harus terus diberangkatkan.

Kerugian Arafat mulai 1970 bukan hanya karena persaingan angkutan haji udara, tapi kebijakan pemerintah dalam menentukan operasi PT Arafat. Dasar kalkulasi tarif per jamaah yang dipakai pemerintah dianggap tidak masuk akal. Untuk periode 1970-1973 misalnya, Arafat hanya diperkenankan memperhitungkan biaya tetap selama tujuh bulan, biaya tidak tetap selama lima bulan, dan tidak boleh memasukkan unsur laba dan kenaikan harga.

Padahal sejak 1970 subsidi haji (kuotum) diberhentikan yang mengakibatkan Ongkos Naik Haji (ONH) pada 1969/1970 naik dari Rp 165 ribu menjadi Rp 182 ribu. Akibatnya jumlah jamaah haji laut yang semula diperkirakan 16.500 orang, turun menjadi 8.681 orang. Kejadian ini menurunkan pendapatan Arafat sebesar Rp 1,1 miliar. Krisis energi internasional pada 1973 dan penurunan nilai dolar AS juga menimbulkan kerugia bagi Arafat.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Dalam keadaan keuangan perusahaan yang kian sulit, musibah demi musibah terus menimpa kapal-kapal Arafat yang umumnya, sudah berusia tua. Kapal Tampomas, milik Pelni yang akan sering dicarter Arafat sampai di dekat pelabuhan Jeddah menabrak batu karang. Sehingga kapal ini tidak mampu membawa jamaah haji pulang ke tanah air.  Kerugian Arafat yang ditimbulkan kapal Tampomas ini mencapai Rp 197 juta.

Pada 1974, di tahun yang sama, Kapal Pacific Abeto bertabrakan dengan Kapal Sam Ratuangi dari  Djakarta Floyd di alur pelayaran Tanjung Perak, Surabaya. Akibatnya jamaah haji yang seharusnya diangkut kembali dari Jeddah oleh Tampomas dan Pacific Abento, terpaksa diangkut dengan pesawat udara atas biaya Arafat. Selain itu Kapal Belle Abento juga mengalami kerusakan, dan pada 1976 kapal ini terbakar dan tenggelam di Laut Jepang.

Kesemua insiden tersebut menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Dalam keadaan yang sial ini, pemerintah menginstruksikan PT Arafat mengganti mesin induk kapal Gunung Djati dari uap ke diesel. Mesin kapal yang diganti di Hong Kong ini menelan biaya hampir 4,7 juta dolar AS. Dari situlah dasar kerugian terbesar Arafat. Untuk menyelamatkan perusahaan umat ini, pemerintah mengganti Direktur Utama untuk penyehatan dan penyelamatan.

Musim haji 1977/1978 di bawah manajemen yang baru Arafat mendapatkan pinjaman dari pemerintah Rp 1 miliar untuk tambahan modal. Ditengah semangat perbaikan dan pengetatan anggaran, pada 1978/1979 masyarakat dikejutkan dengan pengumuman pemerintah tentang keputusan meniadakan angkutan haji laut. Dalam surat Menteri Perhubungan RI tertanggal 29 April 1977 kepada PT Arafat, memberikan peluang kepada Arafat mengangkut jamaah lewat jalur udara.

Namun Arafat angkat tangan, karena bukan bidangnya. Keputusan ini membuat banyak tokoh terperangah, mengapa perusahaan milik umat itu harus mati. Muktamar Muhammadiyah pada 1978 meminta pemerintah mencarikan jalan keluar kelangsunga Arafat. Sebab jamaah haji yang merasa memiliki saham Arafat menyerahkan keputusan ini kepada pimpinan Arafat dan pemerintah. Dan pada 1979 kekahawatiran Arafat terjadi, Garuda hanya mampu memberangkatkan 6.500 jamaah haji.

Menurut Menurut Jendral (Purn.) A.H Nasution yang juga pemegang saham, langkah pemerintah ini sama saja memaksa Arafat bekerja untuk rugi. Upaya Menolong PT Arafat dilakukan oleh berbagai pihak termasuk Jendral (Purn.) A.H Nasution, walaupun akhirnya kandas di tengah jalan. “Jika pemerintah sudah menetapkan Arafat dilikuidasi, pemegang saham tidak dapat berbuat apa-apa,” katanya.

Akibatnya ribuan jamaah tidak bisa diberangkatkan, karena Arafat pun telah dicabut izin angkut jamaah. Menteri Agama saat itu, H. Alamsjah Ratu Prawiranegara membantah ‘pembunuhan’ terhadap Arafat. Ia berdalih alasan keputusan tersebut semata 100 persen teknis ekonomi, tidak ada sisi politisnya. Akhirnya pada 1978 perintah likuidasi disampaikan wakil presiden Adam Malik Juni 1978. Seperti dikemukakan sekretaris wakil presiden, Prof. Dr. Selo Soemardjan, hutang Arafat sebesar Rp 12,5 miliar yang sudah tidak mungkin dicicil lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement