Rabu 24 Aug 2016 04:53 WIB

Paspor Palsu Filipina, Taruhan Nyawa, dan Perjalanan Berbahaya Jamaah Haji

Jamaah Haji Indonesia dan Malaysia dibawa otoritas Bandara International Passay City - Manila Selatan karena menggunakan paspor palsu Filipina menuju Arab Saudi (EPA/Manila International Airport Media Affair)
Foto:
Jamaah haji tahun 1951 di atas Kapal Rotterdam lloyd menuju Makkah.

Martin selanjutnya menulis, perjalanan panjang dan berbahaya sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja ha rus dilakukan dengan perahu  layar, yang sangat tergantung kepada musim. Dan biasanya para haji  menumpang pada kapal dagang, berarti mereka terpaksa sering pindah kapal.

Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh,

pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki 'serambi Makkah'), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari  kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke  Jeddah.

Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengah  tahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mer eka tumpangi karam  dan penumpangnya tenggelam atauterdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu

sendiri.

Para musafir haji yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena  di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jemaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab.

Naik haji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak  banyak orang Nusantara yang pernah menulis catatan  perjalanannya, namun  dalam ceritera legendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka  dalam perjalanan ke Makkah sering diberikan tempat menonjol.

Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahaya perjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji p ada tahun 1854, tidak

ama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api.

Mendekati Tanjung Gamri di Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang: Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang  dari kanan lepas ke kiri.

Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang.

Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (...)

Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kepulauan Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti

orang:

“Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup

bagi seorang, ah, ah, ah!'.....

Dari kajian Marin, pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan1858, jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement