Pada masa itu, tulis Martin, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan 1858, jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.
Kesan sementara pejabat pemerintah, bahwa selisihnya meninggal di perjalanan atau dijual sebagai budak, sangat berlebihan, tapi perjalanan memang makan banyak korban. Penulis Abdullah Abdul Kadir Munsyi (Pelopor Sastra Melayu, red) misalnya meninggal dunia beberapa hari setelah mencapai Makkah, sehingga tak dapat menyelesaikan bukunya yang terakhir ini.
Sekitar tahun 1930-an, ketika keadaan kesehatan sudah lebih baik daripada abad sebelumnya, setiap tahun sekitar 10 persendari jemaah haji Indonesia meninggal dunia selama mereka di tanah suci.
Namun perbedaan antara jumlah orang yang berangkat dan yang pulang terutama disebabkan oleh banyaknya orang yang tinggal di tanah suci selama beberapa tahun. Jumlah orang Nusantara yang mukim (menetap) di Makkah terus meningkat sejak pertengahan abad ke-19.
Snouck Hurgronje, yang banyak menulis mengenai 'Jawah mukim' itu, tidak memberi perkiraan tentang jumlah mereka, tetapi pada tahun 1931 van der Plas (yang pernah menjabat konsul Belanda di Jeddah) menulis bahwa mereka sekurang-kurangnya 10.000 jiwa (bandingkan dengan jumlah jemaah haji, yang waktu itu berkisar sekitar
30.000).
Pada tahun 1869 terusan Suez dibuka dan jumlah kapal api yang berlayar dari Jawa atau Singapura lewat terusan ini, dengan mendarat di Jeddah, naik cepat. Dengan demikian, perjalanan dari Nusantara ke Makkah sangat dipermudah dan dipercepat.
Tiga maskapai perkapalan Belanda (disebut 'kongsi tiga') bersaing dengan maskapai Inggeris (dan Arab Singapura) untuk mengangkut jumlah haji yang sebesar mungkin. Mereka membayar komisi kepada para syaikh haji di Arab dan kepada calo di Nusantara untuk setiap penumpang yang diantarkan.